Kekaisaran Osvalta telah berdiri lebih dari tujuh abad—sebuah negeri yang tampak makmur, tapi di bawah permukaannya, pusaran konflik terus bergejolak. Di selatan, pusat kekuasaan berdiri megah. Di timur, Rashad masih membara oleh ketidakpuasan. Dan di tengahnya, Kaisar Muda Jereon Alfonsia Osvarion harus memegang kendali sebelum semuanya runtuh.
Pendiri pertama Osvalta adalah Raja Rovein. Ia membangun sebuah kerajaan kecil di semenanjung Thalvaris, di selatan benua Orthea. Kerajaan itu dinamai Osvalta, sesuai dengan nama belakangnya, agar semua orang terus mengingat siapa pemilik tanah ini.
Sedikit demi sedikit, Rovein Osvarion memperkuat angkatan militernya. Ia menaklukkan wilayah di sekitar Thalvaris. Mulai dari Bern, Cindorel, dan Cornice. Raja demi raja berganti. Pelan tetapi pasti. Penaklukan terus berlanjut hingga berabad-abad. Wilayah kerajaan meluas hingga jauh ke barat. Kini dikenal sebagai pusat perdagangan dan bisnis.
Jika raja pertama memilih cara berperang, raja-raja selanjutnya lebih senang berdiplomasi. Hingga akhirnya, pada masa pemerintahan Darian, lebih dari dua abad lalu, kerajaan Osvalta diubah menjadi kekaisaran. Darian dinobatkan sebagai kaisar pertama.
Wilayah terakhir yang berhasil ditaklukkan kekaisaran adalah Rashad. Sebuah kerajaan di sebelah timur. Penaklukan itu terjadi pada tahun keempat pemerintahan Kaisar Velheim II.
Velheim II belum lama wafat, masa berkabung belum juga berakhir. Namun, Jereon tidak bisa menikmati kemewahan untuk bersedih terlalu lama. Belum resmi dimahkotai, tapi masalah-masalah yang datang dari wilayah timur membuat pikirannya bergemuruh seperti lonceng istana yang dibunyikan serempak.
Rashad secara resmi terbagi atas empat wilayah dengan pusat pemerintahan di barat. Kota utamanya adalah Tamzin dan Mahad. Bagi mereka yang datang untuk berdagang atau berkunjung, Rashad tampak seperti negeri yang makmur. Bangunan-bangunan besar berdiri megah. Jalan-jalan tertata rapi. Pusat kota dipenuhi aktivitas. Namun, itu semua hanyalah topeng. Tamzin dan Mahad hanyalah permukaan yang menutupi kebobrokan di bawahnya.
Di luar dua kota besar itu, penolakan terhadap kekaisaran terjadi di mana-mana. Fasilitas yang menghubungkan daerah-daerah terpencil begitu minim. Monster ganas banyak berkeliaran di padang pasir. Suku-suku barbar yang tertutup menyulitkan setiap ekspedisi yang dilakukan. Bandit-bandit yang merajalela di wilayah timur memperluas wilayah operasinya hingga ke selatan dan barat Osvalta.
Masalah lebih besar lain muncul baru-baru ini. Orang-orang dari timur hilang secara misterius. Desas desus menyebutkan mereka dibawa ke ibu kota. Namun, dibawa ke mana, tidak ada yang tahu. Seakan mereka hilang ditelan bumi. Dan belum ada bukti soal itu. Sekarang, Grand Lord Rashad juga ikut menghilang. Ia seharusnya menjadi penghubung dengan kekaisaran. Ada yang berpendapat bahwa ia sengaja bersembunyi sambil diam-diam menggalang kekuatan. Ada juga yang menyebutkan ia telah dibunuh. Tapi tidak ada yang tahu kebenarannya.
Penaklukan Rashad bermula dari laporan para pedagang. Mereka melaporkan kekayaan tambang Rashad memiliki kualitas terbaik di dunia. Memang benar—aetherit dan ignisium dari sana memiliki kualitas yang sangat baik sebagai bahan baku pembuatan sphere. Bahkan solarium-nya sangat istimewa sehingga istana mengganti semua sumber pencahayaan dengan bahan tersebut tidak lama setelah penaklukan usai.
Tapi Jereon menganggap keuntungan yang diperoleh tidak sebanding dengan rentetan masalah tersebut. Bukan berarti ia tidak bisa memanfaatkannya. Jika ia bisa membuat bangsawan lain sibuk dan saling bertikai soal solusi terbaik, bukankah itu justru menguntungkannya? Mereka akan lebih fokus bertarung satu sama lain ketimbang menantangnya dalam perebutan kekuasaan.
Seperti saat beberapa bangsawan mengusulkan solusi paling praktis sekaligus paling kejam: genosida. Ia belum mengetahui, apakah orang-orang yang hilang ini adalah bagian dari rencana tersebut dari salah satu ningrat. Namun, bisik-bisik di ruang pertemuan tidak berhenti begitu saja. Malah berkembang liar menjadi desas-desus yang beredar di balik layar. Kini, rumor itu sampai ke telinga Jereon. Meski belum ada bukti konkret, potensi makar di saat dirinya belum resmi dinobatkan jelas bukan sesuatu yang bisa ia abaikan.
Setidaknya, Jereon masih bisa mencari kesenangan lain sebagai pengalih perhatian sementara.
Dulu, duel pedang dan papan catur adalah hiburan terbaiknya. Tapi setelah lulus akademi, dunia memperlihatkan wajah aslinya—politik, intrik, dan kekuasaan. Kini, pelariannya ada di ranjang para wanita, dalam dentingan gelas anggur, dan di kebebasan malam yang tak pernah terasa cukup panjang.
Di tengah pusaran masalah yang terus menumpuk, Jereon tidak bisa melakukan banyak hal selain menunggu kesempatan dan bermain dengan waktu. Setidaknya, malam sebelumnya memberi sedikit hiburan sebelum kembali menghadapi realitas.
Jereon terbangun di ranjangnya dengan kepala berat. Sensasi pusing akibat mabuk masih terasa, seperti hantaman palu yang terus berulang di dalam kepalanya. Ia menekan pelipisnya dengan kesal, mencoba mengusir rasa tidak nyaman itu.
Namun, di antara rasa pening yang menyerangnya, masih ada satu dorongan lain yang menggelitik tubuhnya—hasrat yang belum sepenuhnya tersalurkan.
Tangannya terulur ke sisi ranjang yang kosong, mencari kehangatan yang seharusnya ada di sana. Ia hendak menghirup aroma manis itu lagi, membiarkan jemarinya menelusuri kulitnya, membelai lehernya, menyentuh lekukan lembut di tubuhnya, dan menuntaskan keinginannya jika perlu.
Namun, wanita itu sudah pergi.
Jereon mendesah kesal. Ia menyugar rambut pirangnya yang berantakan. Ia tak berniat membiarkan rasa frustrasi menguasainya terlalu lama. Dengan gerakan malas, ia meraih tali lonceng di samping tempat tidur dan menariknya.
Tidak butuh waktu lama. Para pelayan masuk ke kamarnya, membawa nampan perak berisi sarapan. Sup daging kental yang mengepul hangat, roti yang masih renyah, beberapa potong buah segar, dan secangkir teh panas.
Jereon menyendok supnya, menyeruput teh dengan hati-hati. Setidaknya, ini cukup untuk mengurangi sakit kepalanya.
Sementara ia menikmati makanannya, para pelayan bergerak cekatan. Mereka menyiapkan air mandi dan pakaian ganti tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, seperti sudah memahami ritme pagi tuannya dengan sempurna.
Jereon tidak membuang waktu. Begitu hidangannya habis, ia segera menuju bak mandi yang sudah terisi air hangat. Ia membersihkan diri dengan efisien, membiarkan air meresap ke kulitnya yang tegang. Tak butuh waktu lama, ia sudah keluar dari kamarnya, mengenakan pakaian rapi dengan lencana-lencana kenegaraan berjajar di dada. Cincin kenegaraan tidak luput ia kenakan di telunjuk kirinya.
Lencana kekaisaran—lambang keluarganya yang agung—berkilau megah di dada kirinya. Perisai perak berhias pedang emas dengan gagang berukir matahari, dilingkupi sepasang tanduk rusa biru tua yang melengkung anggun di kedua sisi. Warna emas dan perak menyatu di bawah cahaya matahari yang menyorot dari jendela, memancarkan kejayaan dan kemurnian kekuasaan.
Langkahnya mantap, segagah lencana-lencana di dadanya, meskipun pikirannya masih dipenuhi beban. Ia mengenakan topengnya kembali dan, dengan enggan, melangkahkan kakinya ke luar kamar—ke koridor panjang yang memajang lukisan-lukisan raja dan kaisar Osvalta sejak pertama kali didirikan di kedua sisi dinding. Wajah-wajah mereka tampak kokoh, penuh wibawa, seolah menghakimi dan menuntutnya untuk tidak mengecewakan mereka.
Tatapannya terpaku pada lukisan sang ayah, Kaisar Velheim II. "Kuharap kau bangga, Ayah. Aku akan melakukannya dengan caraku—meski mungkin tak sejalan dengan ajaranmu." Ia bergumam, menatap mata ayahnya di lukisan itu. Sejak kecil, ia tahu takhta ini miliknya, dan ia tahu ia tidak boleh gagal. Jika ia goyah, para bangsawan akan mencium kelemahannya seperti pemangsa mencium bau darah. Jika ia ingin tetap berada di puncak, maka kesedihan harus menjadi alat, bukan penghambat. Biarkan mereka melihatnya sebagai pewaris yang berduka, tapi tetap tak tergoyahkan.
Hari demi hari akan terus berlalu, menghitung waktu hingga penobatan resminya sebagai kaisar tiba. Dua bulan sudah sejak kepergian ayahnya, dan Osvalta masih akan berkabung selama empat bulan lagi. Tapi empat bulan bukan waktu yang lama, tidak dengan semua masalah yang menumpuk di hadapannya.
"Yang Mulia, Pendeta Agung baru saja tiba. Ibu Suri tengah menemani beliau."
Suara pengawal pribadinya membuyarkan lamunannya. Jereon menarik napas dalam, lalu berbalik dengan ekspresi datar.
"Baiklah, antarkan aku ke sana," ujarnya.
Soal upacara penobatan, batinnya.