Shadow of the Forgotten Flame

Sadille N. Mouren
Chapter #10

The Thief's Playground

Berhari-hari berlalu sejak Einar mengikuti rombongan bandit itu. Mereka terus berpindah dari satu hutan ke hutan lain, menyelinap di antara pepohonan rimbun, cukup tersembunyi dari mata orang-orang yang tidak diinginkan. Mereka menghindari jalan utama dan sebisa mungkin menjaga jarak dari pemukiman, seolah menjadi bayangan yang hanya bergerak di tepian dunia.

Sebagian besar dari mereka berasal dari timur, sisanya dari perbatasan utara—tempat yang terkenal miskin dan keras, dimana seseorang mesti berjuang mati-matian demi bertahan hidup. Mereka tidak hanya sekadar merampok rombongan pedagang atau bangsawan yang kebetulan sedang sial, tapi juga menawarkan jasa pada lord-lord kecil di pedesaan untuk pekerjaan kasar, seperti membangun jembatan, memperbaiki tanggul, atau sekadar menjadi tenaga tambahan di ladang.

Einar tidak menyangka bahwa perampok pun punya prinsip dalam memilih korban. Mereka tidak merampas dari orang miskin atau pedagang kecil yang hanya membawa barang dagangan secukupnya. Sebaliknya, mereka mengincar pedagang besar, bangsawan, atau siapa pun yang tampak memiliki lebih dari yang seharusnya. Ada aturan tidak tertulis di dalam kelompok ini, meskipun ada saja beberapa anggota yang menginginkan lebih.

Perlahan-lahan, Einar mulai memahami cara kerja mereka. Ia tidak bisa mengatakan bahwa dirinya merasa nyaman, tapi setidaknya mereka memperlakukannya dengan cukup baik. Tentu, beberapa orang masih berbicara sinis di belakangnya—menggerutu soal bagaimana pemimpin mereka terlalu lunak menghadapi seorang anak kecil. Zahur tegas soal ini. Kalau tidak suka, mereka boleh angkat kaki. Nyatanya, tidak ada yang pergi. Mereka bertahan. Karena mungkin… hanya dalam kelompok inilah mereka bisa bertahan hidup.

Masih mending daripada diperbudak, pikir Einar. Seperti dirinya dan Boyd. Atau Aska. Atau siapapun namanya. Ia masih belum bisa menyebut nama itu tanpa merasakan perih di dadanya.

Beberapa hari yang lalu, mereka mengadakan upacara pemakaman simbolik untuk anak itu. Tanpa jasad. Hanya dengan membakar tas serut dan roti berjamur pampasannya dari dapur. Hari itu, Zahur dan anak buahnya sengaja tidak mengambil jasadnya. Bukan karena tidak peduli, tapi justru untuk melindungi namanya. Membiarkannya ditemukan bersama yang lain akan membuat orang-orang berpikir ia mati sebagai korban. Bukan pengkhianat.

Setelah itu, tak ada waktu untuk berduka. Kehidupan terus berjalan, dan rombongan itu harus terus bergerak. Pemakaman tidak termasuk dalam rutinitas mereka. Lain ceritanya dengan bertahan hidup.

Meskipun jumlah mereka cukup banyak, mereka sangat mahir dalam bersembunyi. Untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa diperoleh di hutan, beberapa orang pergi ke kota terdekat, menyamar sebagai pekerja atau pembeli biasa. Penjualan hasil rampokan juga dilakukan di kota, seperti sebelum menuju Thalvaris, ketika mereka tiba di Burkin—salah satu kota perdagangan di barat—untuk menjual barang pada penadah langganan mereka.

Tidak semua hasil rampokan dijual. Barang-barang yang memiliki asal-usul dari timur biasanya disimpan dan dikembalikan ke tempat asalnya. Catatan kuno, peta, atau perkamen nyaris tidak memiliki nilai di pasar gelap karena hanya sedikit orang yang tertarik membelinya. Menurut Zeke, benda-benda semacam itu harus dijual melalui jalur tertentu—disebarkan dari mulut ke mulut di antara akademisi dan kolektor. Jika dalam jangka waktu tertentu tidak ada yang membeli, mereka akan dibawa ke timur bersama barang lain yang dikumpulkan. Kadang dihancurkan saja jika sudah menumpuk terlalu banyak.

Saat ini, mereka berada tidak jauh di perbatasan luar ibu kota. Cukup jauh dari benteng. Jauh dari mata penjaga.

Einar berdiri di tepi tebing, merasakan embusan angin laut yang membawa aroma garam. Udaranya panas, tapi ada kesejukan khas pesisir yang menyelinap di sela-sela angin. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat bangunan-bangunan tinggi menjulang dengan atap berkilauan, mencerminkan cahaya matahari.

Di bawah sana, pantai terbentang luas, dengan kapal-kapal nelayan serta kapal dagang yang transit sebelum melanjutkan pelayaran ke pelabuhan Tarsis di wilayah barat. Pasar ikan di sekitar galangan kapal tengah ramai pada saat-saat seperti ini. Gelombang laut bergulung perlahan, memecah di antara dermaga kayu dan batu. Di seberang pelabuhan, berdiri benteng kokoh berwarna kelabu, memisahkan pusat kota dari wilayah pinggiran. Benteng itu menjulang gagah, dirancang untuk menahan serangan yang datang dari arah laut.

Sebuah galangan kapal lain dibangun di dekat pelabuhan lama. Lebih besar, lebih personal, lebih kaku. Panji-panji kekaisaran berwarna emas-perak-biru tua dikibarkan di sana, beriringan dengan bendera berlambang ular laut biru tua yang melingkari kemudi kapal merah—lambang keluarga Vesperion, pemilik angkatan laut terkuat di kekaisaran.

Di pusat kota, istana kekaisaran berdiri megah. Terdiri dari susunan kastil dengan atap-atap lancip yang dikelilingi taman luas. Dindingnya yang seputih pualam memantulkan cahaya matahari, membuatnya tampak bersinar dibandingkan bangunan lain. Einar tebak, luasnya dapat menampung seluruh warga Thalvaris jika terjadi kondisi darurat. Tak jauh dari luar benteng istana, terdapat Plasa—lapangan luas tempat perayaan dan festival diadakan. Pada hari-hari biasa, tempat itu menjadi pasar terbuka, tempat orang-orang berdagang dan berkumpul. Tapi, tak boleh ada perayaan atau festival selama masa berkabung.

Sedikit lebih jauh dari istana, terdapat Menara Sihir atau Menara Gading. Bangunannya tinggi menjulang dengan warna putih gading, tempat para penyihir berbakat berkumpul untuk belajar dan mengasah kemampuan mereka. Tidak sembarang orang bisa masuk ke sana—hanya mereka yang memiliki bakat sihir luar biasa yang bisa diterima sebagai murid, tanpa memandang status bangsawan ataupun rakyat jelata. Karena itu, kelahiran seorang penyihir di sebuah keluarga selalu menjadi berkah tersendiri.

Di sisi lain kota, berdiri Akademi Perditta. Bangunannya luas, nyaris seluas istana, namun arsitekturnya kaku dengan warna kelabu yang membosankan. Tempat itu adalah pusat pembelajaran bagi mereka yang ingin mempelajari ilmu selain sihir—pengobatan, politik, otomasi, botani, dan berbagai bidang lainnya. Tapi hanya orang-orang dari keluarga bangsawan atau mereka yang memiliki uang melimpah yang bisa belajar di sana.

Einar sering membayangkan bagaimana rasanya belajar di tempat-tempat itu. Menjadi seorang penyihir di Menara Gading atau ilmuwan di Akademi Perditta. Sekolah. Seperti yang pernah ia katakan pada Boyd. Tapi itu hanya angan-angan kosong. Ia tidak memiliki bakat sihir, juga tidak memiliki uang.

Setidaknya, ada segelintir orang baik yang dengan sukarela mengajari anak-anak miskin membaca dan berhitung di sudut-sudut kota. Sayangnya, Einar tidak memiliki kebebasan seperti anak-anak itu. Sebagai seorang budak, ia tidak punya kesempatan untuk berkeliaran dengan bebas dan datang ke tempat itu. Hingga kini pun, ia masih buta huruf.

“Apakah wilayah timur memiliki sesuatu seperti Akademi Perditta atau Menara Gading?" tanya Einar beberapa hari lalu ketika mereka tengah dalam perjalanan ke ibukota. Tangan dan matanya sibuk mengendalikan laju kereta kuda.

“Kami punya sesuatu yang mirip Akademi Perditta." Di sampingnya, Zahur menggosok dagunya yang lebar sembari menjawab pertanyaan itu. “Tapi sihir… setiap suku punya ciri khasnya masing-masing. Contohnya ini." ia menunjuk rajah di punggungnya.

"Kenapa dengan rajah itu?" Einar bertanya dengan polos.

Lihat selengkapnya