Shadow of the Forgotten Flame

Sadille N. Mouren
Chapter #11

The Scholar's Haven

Hari-hari berlalu. Bagi Einar, empat hari bersembunyi di pinggiran ibu kota terasa lambat, sekaligus juga terasa cepat. Lambat, karena kota itu mengingatkannya pada penderitaan ketika menjadi seorang budak. Cepat, karena Zahur memanfaatkan dirinya dengan sangat baik, tanpa waktu yang terbuang sia-sia. Walaupun begitu, Einar tidak merasa terbebani.

Kini, rombongan ini tengah bersiap meninggalkan Thalvaris untuk melanjutkan perjalanan ke timur. Semua kebutuhan untuk melanjutkan perjalanan sudah dilengkapi. Setidaknya mereka takkan kekurangan roti kering, keju, maupun anggur untuk tujuh hari ke depan. Sebagian besar pampasan juga telah berhasil terjual. Sekarang, yang tersisa hanya kerinduan mereka pada keluarga di rumah.

Rumah.

Kata itu terasa asing bagi Einar. Setelah menjadi budak, ia tak pernah punya tempat atau seseorang yang dapat disebut rumah. Tapi, setelah memikirkannya lebih dalam, sosok Boyd, tanpa ia sadari, mungkin menjadi hal yang paling mendekati. Di balik sikap kasar dan cemoohan pedasnya, ia tahu anak itu selalu peduli. Sikap sok pahlawannya itu bisa jadi muncul karena ia merindukan sosok adiknya. Dan, entah bagaimana menemukannya dalam diri Einar.

Memikirkan itu, lagi-lagi membuatnya merasa bersalah. Tapi, ia menepis perasaan itu jauh-jauh. Jangan sekarang! pikirnya. Tidak saat semua orang tengah bersiap. Bukan saat mereka harus terus berjalan.

Einar menarik napas panjang, lalu menatap sekitarnya. Tak ada waktu untuk meratapi masa lalu. Perjalanan berikutnya tengah menunggu. Zahur mengatur barang-barang di dalam kereta angkut. Seseorang melewatinya membawa sebuah karung lagi ke sana untuk disusun.

Einar sendiri tengah bersiap untuk perjalanannya dengan Zeke ke Cindorel. Kota itu tidak jauh dari Thalvaris. Hanya memakan waktu dua hari berkuda untuk sampai ke sana. Menggunakan jalan pintas yang mustahil diakses kereta dan rombongan besar.

Dengan kereta dan jalur biasa, malah memakan waktu hingga lima hari. Serta membuat rombongan memutar cukup jauh dari jalur menuju wilayah timur. Perjalanan ke wilayah timur sendiri memakan waktu delapan hari dari ibu kota dengan menggunakan kereta kuda. Zeke tak mau menambah beban perjalanan mereka.

Sekalipun dekat, Zahur bilang jalur tersebut berbahaya. Binatang buas berkeliaran bebas karena jarang dilalui manusia. Dan medannya cukup berat. “Bawa ini!" katanya ketika mereka belum berpisah jalur.

Zahur menyodorkan sebuah belati kepada Einar—bergagang kayu eboni, bertatahkan batu obsidian dengan ukiran khas timur.

Einar mengerutkan kening. Matanya menyipit menatap mata Zahur. Keheranan dan kecurigaan terukir pada wajahnya.

“Aku tak bisa menerimanya," tolaknya berhati-hati. “Lagipula aku tak bisa menggunakannya selain untuk mengupas apel dan memotong roti."

"Kalau begitu kau akan belajar menggunakannya," katanya sambil menjejalkan belati itu ke tangan Einar ketika mereka mencapai persimpagan.

Einar memutar-mutar belati itu di tangannya, merasakan keseimbangan beratnya. Senjata itu terasa dingin namun pas di telapak tangan, tetapi tidak berlebihan.

Ia teringat pada belati milik tuan lamanya, Magnus. Pria itu membawa belati bertatahkan rubi di selipan ikat pinggangnya ke mana-mana. Bagus, tapi norak untuk ukuran seorang ningrat. Yang ini, berada pada level yang jauh di atasnya.

Ia sempat bertanya-tanya dari mana Zahur mendapatkan belati itu. Apakah ini milik pribadi atau hasil pampasan?

"Tenang saja, itu bukan hasil rampokan," ujar Zeke, seakan dapat membaca pikirannya. “Itu belati kehormatan untuk ksatria Rashad."

"Siapa ksatrianya?”

Pertanyaan itu menggantung, tak ada seorangpun yang menjawabnya. Alih-alih, Zahur menyerahkan sebuah tas selempang pada Einar. Orang dewasa sering kali melakukannya, seakan menggeser mangkuk bubur basi untuk menyodorkan sisa roti hangat.

“Apa ini?" Einar membuka tas tersebut. Di dalamnya, beberapa lembaran perkamen tua digulung dan diikat menjadi satu. Matanya kini menatap Zahur

"Siapa tahu kau masih tertarik setelah bisa membaca," katanya santai. "Lagi pula… ini sisa-sisa saja, tidak laku dijual."

Einar menerima tas itu dan merasakan bobotnya. Terlalu ringan, pikirnya. Ia memasukkan belati pemberian Zahur ke dalam tas tersebut. Ketika menjadi budak ia tak pernah menerima sesuatu tanpa maksud tersembunyi. Kini, ia menerima dua benda penting sekaligus tanpa diminta—belati dan harapan. “Terima kasih," bisiknya.

Mata Zahur beralih pada Zeke. Alisnya berkerut dalam. Mungkin ragu. Atau khawatir. Einar tak dapat menebaknya.

"Apa kau yakin ingin melakukan ini sendirian?" tanyanya.

Zeke menatapnya tajam. "Aku harus. Demi kehormatan keluargaku."

Einar tak memahami maksud Zeke. Itu terdengar seperti sesuatu yang besar. Mungkin memang otaknya yang terlalu bodoh. Kalau Boyd di sini, ia akan mengatainya otak siput atau sejenisnya. Namun, ia memang tak dapat menemukan petunjuk apapun di balik kata-kata Zeke barusan.

Mereka lantas melanjutkan percakapan dalam bahasa Rashad yang sama sekali tidak Einar pahami. Suasana di antara Zeke dan Zahur terasa berbeda. Zeke tampak biasa, tapi Zahur menatapnya dalam. Alisnya turun sedikit, penuh harap—seolah ingin membujuknya untuk berubah pikiran. Tapi pria besar itu akhirnya menyerah.

"Apa yang harus kukatakan pada adikmu nanti?" tanyanya pasrah, kembali menggunakan bahasa yang Einar pahami.

"Aku sudah membicarakan ini dengan Zenayda sejak lama," jawab Zeke. "Dia sedikit menentang, tapi aku yakin dia akan mengerti. Katakan saja bahwa aku baik-baik saja. Aku akan segera pulang. Dia akan mengurus segalanya dengan baik. Aku percaya kau bisa membantunya."

Zahur terdiam sejenak. Matanya mengamati wajah Zeke seperti sedang berusaha mengingat setiap garis dan lekukannya. Lalu, dengan suara yang lebih pelan, ia berkata, "Sudah seharusnya begitu. Segeralah pulang. Kami mendoakan keselamatanmu."

Zeke menepuk pundak Zahur. Ia berseru dalam bahasa Rashad sebelum memacu kuda. Mungkin sesuatu untuk mengobarkan semangat atau sejenisnya. Karena Zahur lantas tersenyum setelahnya.

Einar mengikutinya memacu kuda. Ia sempat melirik ke arah Zahur, yang masih diam di atas kudanya, menatap mereka pergi dengan sorot mata yang tak bisa ia baca—ragu, sedih, atau justru kecewa? Yang pasti, ada doa dan harapan juga di sana.

Zahur dan rombongannya rupanya tidak berlama-lama di sana. Dari balik bahunya, Einar melihat mereka mulai bergerak dan segera hilang dari pandangan setelah mengambil jalan yang berbeda.

Kuda Einar dan Zeke sendiri berpacu cepat. Pemandangan kanan dan kiri mereka segera berubah menjadi hutan-hutan yang lebih dalam dan gelap. Mereka menarik tali kekang, menurunkan kecepatan ketika jalan mulai menyempit dan medan berbatu terbentang di depan sana.

Zeke dan kudanya yang sewarna pasir memimpin di depan. Ia tak terburu-buru karena mungkin menyadari keterbatasan Einar dalam berkuda. Ia memang berlatih setiap hari selama beberapa minggu ini dan, menurutnya, kemampuannya tidak buruk-buruk amat. Tetap saja, ia hanya anak-anak yang untuk naik ke atas kuda saja masih kesulitan.

Tapi itu tidak menghalangi Einar untuk menikmati perjalanan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa lehernya benar-benar lepas dari jeratan rantai.

Bebas. Seperti burung-burung yang terbang di langit. Seperti air yang mengalir deras di sungai. Seperti embusan angin yang menyelinap di antara dedaunan. Dan masih banyak lagi perumpamaan yang muncul di kepalanya setiap kali matanya menangkap pemandangan baru.

Lanskap terus berubah—rimbunan pepohonan berganti padang rumput. Matahari naik ke atas kepala. Mereka beristirahat di tepian sungai. Meregangkan tubuh, tidur sebentar, minum dan makan secukupnya, lalu melanjutkan kembali perjalanan. Beristirahat sebentar sekali lagi ketika matahari sudah menggelosor jauh dari atas kepala, melanjutkan perjalanan lagi. Baru ketika bintang muncul di langit, mereka berhenti lama untuk makan malam dan beristirahat.

Lihat selengkapnya