Shadow of the Forgotten Flame

Sadille N. Mouren
Chapter #12

The Old Man with a Sharp Tounge

Einar berdiri canggung di pojokan koridor lantai dua. Memeluk erat tasnya yang isinya tidak seberapa. Matanya jelalatan, bukan karena barang yang berjejalan atau pajangan aneh lainnya. Justru koridor itu terlalu lengang. Tak ada barang pajangan. Tak ada rak buku. Hanya embusan angin dan suara gaduh dari salah satu ruangan di sana.

Zeke belum lama pergi. Baru beberapa saat lalu ia melambaikan tangan pada pria itu dari beranda rumah Lazlo. Memandangi punggung tegaknya sampai menghilang di tikungan. Saat ini, ia pasti belum jauh. Masih ada kesempatan untuk mengejar dan ikut dengannya. Ia mungkin baru mencapai distrik pasar. Memacu kuda cepat-cepat di tengah kota memang sulit. Tapi bukan hal yang tidak mungkin. Daripada ditinggalkan bersama pria nyentrik itu. Yang—bukan hanya mulutnya saja yang tajam—tatapannya menusuk seperti paku karatan yang menembus telapak kaki.

Einar tak dapat membayangkan dirinya duduk semeja dengan Lazlo. Apalagi menyantap makan malam bersamanya. Rasanya… mustahil dapat mempertahankan selera makan sementara mata tua bak burung gagak pencari onar itu mengawasinya. Untungnya waktu makan malam masih lama.

Dan pria tua itu memilih meluangkan waktunya di dalam salah satu kamar, entah membenahi atau malah mengobrak-abrik isinya. Sebelumnya, Lazlo meminta Einar menunggu di pojokan koridor ini. Menolak mentah-mentah bantuan yang ia tawarkan. “Tunggu di situ! Jangan mendekat barang selangkah!” begitu katanya sembari menunjuk hidung Einar.

Maka, Einar hanya bisa diam menunggu di sini, sambil sesekali mendengarkan ocehan dan keluhan yang baru berani ia utarakan setelah telinga Zeke jauh dari jangkauan suaranya.

Sejujurnya, bukan hanya Lazlo yang butuh berkeluh kesah. Einar juga. Kalau bisa, ia ingin mengoceh panjang lebar tentang betapa tatapan pria tua itu menganggunya. Tentang betapa nyentrik penampilan dan perabotan di rumahnya. Intinya, tentang segalanya, mungkin. Tapi bukan hak Einar untuk berkeluh kesah. Setidaknya dulu begitu. Dan, hal itu mungkin masih terbawa hingga sekarang.

Dulu, Boyd pernah bilang, mengeluh itu hal sepele. Yang sulit adalah menghadapi respons orang lain terhadap keluhan kita. Mungkin benar. Ia pernah mengeluh pada Malric soal betapa tidak nyamannya tidur di kandang kuda. Malam selanjutnya, ia tidur di rubanah beralaskan lantai batu yang dingin dan lembap. Sejak itu, ia menelan keluhannya untuk dirinya sendiri.

Sekarang, ia bertanya-tanya, jika Boyd masih hidup dan justru ia yang mati, apakah saat ini anak itu yang tengah berdiri di sini? Kelihatannya tidak. Boyd tidak akan ada di sini. Ia akan ngotot bertahan di Burkin, menyelinap ke kapal dagang atau menunggu sekunar bajak laut. Ia akan tetap hidup. Mungkin jauh lebih baik daripada Einar sekarang.

Kalaupun ia ada di sini, anak itu takkan secanggung Einar sekarang. Ia mampu membuat nyaman dirinya sendiri, setidaknya dengan mulut besarnya. Jelas saja, banyak yang bisa dikomentari di dalam rumah ini. Lorong ini tidak termasuk. Dapurnya juga sepertinya biasa saja.

Tidak. Einar belum pernah masuk ke dapurnya. Tapi ia tahu, Lazlo dan Zeke sempat berbicara berdua di sana. Pemuda itu bilang, ia butuh ruang yang lebih… lengang. Begitu kurang lebih. Sungguh kebiasaan orang dewasa—seperti dua kucing mendekam di bawah meja. Einar mengintip, berharap dapat mendengar sesuatu. Tapi percuma saja, mereka berbicara dalam nada rendah. Ia tak dapat menerka apapun yang mereka bicarakan.

Sama seperti sekarang, Einar tak dapat menerka apa yang tengah Lazlo lakukan di dalam sana. Namun, baru saja berpikir demikian, Lazlo keluar dari kamar itu. Sekeranjang penuh benda-benda aneh membebani kedua tangan kurusnya. Koleksinya yang lain, barangkali.

"Tidak, tidak! Jangan sentuh barang pribadiku!" hardik Lazlo ketika Einar hendak mengulurkan tangan untuk membantu.

Ia menarik tangannya kembali. Hampir-hampir menyesali perbuatannya. Ia menunduk ketika Lazlo lewat di depannya untuk membuka pintu kamar yang lain.

"Nah, kamarmu hampir siap. Sisanya kau atur sendiri," katanya sambil melemparkan keranjangnya ke kamar tersebut. Ia menoleh dan menunjuk sebuah pintu di sudut lorong yang lain. "Yang itu kamarku. Jangan dekat-dekat!"

Einar melirik pintu yang dimaksud. Pintunya terbuka lebar. Cahaya matahari menyorot dari pintu tersebut. Dari luar, jendelanya memang tampak besar. Tapi ia tidak penasaran dengan isi kamar Lazlo. Jangan sampai.

"Kalau kau perlu membersihkan diri, bak mandinya di belakang, dekat dapur. Kau bisa menimba air sendiri, kan? Sumurnya ada di halaman belakang. Panaskan airnya sendiri kalau mau. Pakai sepuasmu, karena—astaga! Baumu seperti kotoran puluhan unta dijadikan satu! Aku bahkan bisa mencium baumu dari ujung jalan!" omelnya panjang lebar, lantas menutup hidungnya dengan ekspresi jijik. "Setelah mandi, beristirahatlah. Nanti kupanggil saat makan malam.”

Einar mengangguk pelan selagi Lazlo menuruni tangga. Pria tua itu mungkin tak melihatnya mengangguk. Bahkan mandi pun terasa seperti ujian baru. Tapi, sinar matahari yang menyorot melewati ambang pintu kamar tersebut segera menarik perhatiannya.

Kamarku? batinnya. Ia melangkahkan kakinya perlahan. Ragu, mungkin takut juga. Tapi, seperti kata Lazlo, itu kamarnya. Ia berhenti sejenak di ambang pintu. Matanya berkeliling. Debu-debu masih bertebaran di udara, merefleksikan cahaya yang menembus kaca jendela. Kamar itu, secara keseluruhan cukup rapi. Pria itu kelihatannya merapikan kamar itu untuknya.

Tidak pernah ada orang yang dengan suka rela melakukan sesuatu untuknya. Barangkali Lazlo juga melakukannya agar benda-benda koleksinya aman dari sentuhan orang lain. Atau ia hanya ingin segala sesuatu diatur sesuai kemauannya. Tapi rasanya aneh… mungkin pikirannya saja yang terlalu negatif. Mungkin ia terlalu berlebihan menilai seseorang. Mungkin tidak seharusnya ia menilai pria tua itu dari lirikan matanya. Terlebih, Zeke sepertinya percaya pada Lazlo. Seperti suara derit lantai kayu yang terdengar ketika Einar menjejakkan kakinya ke dalam kamar tersebut. Berisik, mungkin juga mengganggu, persis seperti pria tua itu, tapi ia akan terbiasa.

Ia mengibaskan tangan untuk menghalau debu yang mengganggu penciumannya. Membuka jendela agar angin segar masuk menggantikan udara pengap. Jendela besar itu mengarah ke pelataran—kira-kira tepat di atas pintu depan. Jendela yang sebelumnya digunakan Lazlo untuk mengintip Einar dan Zeke ketika mereka datang.

Di sudut kiri dekat jendela, terdapat sebuah ranjang kecil. Di seberangnya, sebuah lemari sederhana berdiri. Tepat di bawah jendela, ada meja belajar dengan permukaan kayu berwarna usang. Tidak senyaman penginapan semalam, tentu saja. Lantainya perlu dipel, perabotannya perlu di lap. Ranjangnya perlu dilapisi seprei. Tapi nanti saja.

Einar menyusun barang-barangnya ke dalam lemari. Mengeluarkan gulungan-gulungan perkamen pemberian Zahur dari dalam tas, dan menaruhnya di atas meja. Ia memeriksa sekilas perkamen-perkamen tua itu. Tidak ada satupun yang dapat ia baca. Tetapi, selembar perkamen tua dengan gambar sebuah diagram dikelilingi huruf-huruf kuno menarik perhatiannya. Salah satu sisi kertasnya berupa robekan yang barangkali disengaja, seolah perkamen itu memang bagian dari sebuah buku.

Diagram itu berbentuk lingkaran ganda yang tumpang tindih antara lingkaran yang satu dan yang lain. Di pertemuan kedua lingkaran tersebut terdapat dua buah gambar yang Einar asumsikan sebagai anak kunci. Pola garis bercabang seperti akar pohon berkelindan dari titik tengah diagram mengarah ke luar. Di kanan dan kirinya terdapat huruf-huruf kuno yang tidak Einar pahami. Tetapi, dibandingkan diagram rumit itu, simbol di tepi atas perkamen menarik perhatiannya.

Simbol itu terasa familiar sekalipun ia belum pernah melihatnya. Simbol berbentuk lingkaran dengan ukiran huruf kuno di sekelilingnya. Siluet seekor naga bertubuh ramping dengan sayap lebar dan ekor melingkar tergambar di tengahnya. Einar mengusap simbol tersebut, merasakan desiran aneh di lengannya. Jantungnya berdegup kencang, meski ia sendiri tidak tahu kenapa. Seakan sesuatu hendak menyusup masuk ke dalam pikirannya. Memori yang terlupakan, atau sesuatu yang lain.

Bukan waktunya memikirkan yang lain. Dengan terburu-buru, ia menaruh kembali perkamen tersebut di atas meja. Meninggalkan sobekan pada sudutnya yang sudah retak. Ia segera menyesalinya. Perkamen itu ternyata lebih rapuh daripada yang ia duga. Bukankah benda tua seharusnya diperlakukan penuh kehati-hatian? Ia tidak yakin. Mungkin lebih baik dianggap sebagai pemberian berharga dari Zahur. Seperti halnya belati yang ia berikan.

Einar menarik napas panjang, membiarkan pikirannya menjauh dari diagram maupun simbol naga dan kembali pada kenyataan: kamar itu masih perlu dibersihkan. Einar turun ke dapur mencari sapu dan kain lap. Di dalam lemari, ia menemukan seprei dan selimut bersih, tetapi debu lantai dan perabotan lainnya menggunung, seakan belum pernah dibersihkan selama berabad-abad.

Lihat selengkapnya