Anak itu belum lama muncul di dalam Kastil. Isobel baru mengenal wajahnya dua minggu ke belakang. Kata kakeknya, nama anak itu Roan. Ia sering mondar-mandir di dekat dapur. Cara berjalannya aneh. Kikuk, seakan tidak yakin harus melangkah ke mana, dan… caranya bergerak terasa serba salah. Biasanya, ia datang ke dapur pada waktu makan, mencari kakeknya, Igor. Pesuruh lain tidak ada yang peduli. Katanya, ia dulunya seekor anjing… atau serigala… atau rubah? Entahlah. Isobel tak paham. Yang pasti, Isobel belum pernah melihat ada anak lain di dalam kastil selain dirinya.
Salah satu bibi di dapur pernah bilang, tak ada untungnya berteman dengan anak itu. Tapi ia justru merasa iba. Roan selalu sendiri. Seringkali berdiam di sudut tangga dengan kaki terlipat, seperti tak tahu harus melakukan apa. Dan, selalu ada goresan baru di kulitnya setiap kali ia masuk ke dapur. Mungkin ia jatuh. Atau mungkin… ia tak mau membayangkannya.
Kakek dan pamannya mungkin tak pernah memberitahunya. Tapi diam-diam ia tahu seperti apa majikan mereka memperlakukan para pelayan—ia pernah mendengar teriakan dari gudang bawah. Dan… mungkin anak itu juga mengalami hal yang sama. Sekali lagi, ia tak mau membayangkannya.
Majikan mereka dan kedua muridnya katanya adalah penyihir. Isobel tak tahu apakah itu benar atau bohong. Tak ada bukti lain selain dari tingkah mereka yang aneh dan ular-ular peliharaan Derek yang berkeliaran bebas di sekitar kastil. Ular-ular itu kadang melintas di hadapannya ketika ia tengah menyeberangi pelataran. Atau tiba-tiba muncul dari balik peti di dalam gudang dengan lidah menjilat-jilat udara. Isobel selalu menahan napas kalau kebetulan melihat satu. Untungnya mereka tidak pernah betah berlama-lama di dapur.
Ia sendiri ragu, apakah tingkah aneh dan kepemilikan ular secara berlebihan cukup untuk membuktikan bahwa mereka penyihir? Mungkin benar. Ia sendiri tak pernah melihat sihir sungguhan di depan mata. Mending jangan.
Mending sibuk di dapur, membantu para bibi mengaduk sup atau merajang kentang dan wortel untuk majikan dan para penjaga kastil. Ia bisa mati bosan jika berdiam diri terlalu lama. Terlebih, pamannya, Karl, belum juga pulang. Padahal pria berbadan besar itu yang sering kali mengajaknya bermain. Kakeknya bilang, Karl ikut Cassius pergi ke ibu kota. Tapi memangnya untuk apa? Aneh sekali. Tidak biasanya seorang pesuruh diajak pergi.
Tapi sudahlah. Sup di atas tungku bisa gosong kalau ia terus memikirkan kapan pamannya akan pulang. Terlebih, Trish, si venefica, kerap mengomel kalau rasa supnya tidak sesuai seleranya atau makanannya terlambat dihidangkan. Ia tak mau kena sembur lagi.
Untungnya, hari ini bukan giliran Isobel untuk menghidangkan makanan. Lagipula, perutnya sudah lapar karena aroma sup dan daging panggang yang memenuhi dapur. Kalau mau makan sedikit lebih layak, para pesuruh harus menunggu sisa dari meja majikan. Ia tak sudi melakukan itu. Rasanya seperti makan ampas.
Saat menciduk bubur jelai dari panci, Igor masuk bersama Roan. Anak itu minta makan, tentu saja. Isobel mengambil dua mangkuk tambahan tanpa diminta, menyajikan makanan yang sama dengannya untuk mereka. Matanya tak luput memperhatikan Roan. Kali ini, bukan hanya goresan, tapi memar di sisi leher, sebagian tertutup tunik kelabunya. Memar itu mustahil akibat terjatuh. Seseorang telah memukulnya. Dan ia ngeri membayangkan benda apa yang dipakai—tongkat? Sabuk? Atau… ular Derek?
Isobel meringis. “Apa yang terjadi dengannya?"
"Sebaiknya tidak usah tahu,” gumam Igor pelan, seolah tak ingin perkataannya sampai pada Roan. Kedua tangannya saling menggosok sebelum meraih sendok. Seruputan pertamanya seberisik gesekan sisik ular dengan jerami.
Sementara itu, sendok dalam genggaman tangan Roan terjatuh ke dalam mangkuk. Membuat Isobel gemas setengah mati ingin mengajarinya cara memegang sendok. Pamannya lebih mahir mengajari hal seperti ini daripada sang kakek. Dulu, yang pertama kali mengajarinya memegang sendok dan pensil juga Karl, bukan Igor.
Isobel melirik Roan penuh rasa ingin tahu, lalu kembali lagi pada sang kakek yang fokus menatap buburnya. Entah sejak kapan rasa laparnya juga terlupakan. "Kakek, apa dia mengerti semua yang kita ucapkan?"
"Aku tidak yakin,” ujar Igor. "Mungkin sebagian. Masih lama sekali hingga ia bisa mengerti semuanya dan menanggapi segalanya seperti… anak-anak normal."
“Aku boleh bermain dengannya?"
Sendok Igor berhenti di udara. Perlahan, ia menaruhnya kembali ke dalam mangkuk. Igor mendesah. Isobel merasakan wajah kakeknya menggelap, seperti habis mencicipi anggur yang kelewat pahit.
Bibir Igor terbuka hanya untuk dikatupkan kembali. Isobel menunggunya mengatakan sesuatu, namun kata-kata tak kunjung keluar dari bibir keriputnya. “Habiskan makananmu.”
Sementara itu, di sebelahnya, Roan bergantian memandangi mereka. Matanya membulat. Mungkin penasaran. Mungkin kebingungan. Sendoknya digenggam terbalik.
Isobel menahan rasa gemasnya untuk membetulkan cara Roan menggenggam sendok. Ia justru memelototi sang kakek dengan mulut mengerucut. Itu bukan sebuah jawaban dan ia tak suka dengan cara Igor menanggapi pertanyaannya. “Oh, begitu…” nada suaranya meninggi. “Kakek tidak bilang boleh atau tidak. Berarti terserah aku kan, mau melakukan apa?”
“Kau akan…” kalimat Igor terputus di tengah jalan, seakan tengah memilih biji gandum terbaik dari dalam karung gandum terburuk. “kecewa.”
Isobel mengernyitkan alis. “Kenapa aku harus kecewa? Kalau kakek tahu sesuatu, bukankah seharusnya kakek memberitahuku? Biar aku yang putuskan.”
"Kau masih terlalu kecil untuk memutuskan sesuatu.”
Isobel bangkit dari kursinya, kedua tangan menggebrak meja. Matanya melirik Roan yang kini menyeruput sisa-sisa bubur yang sebelumnya ia sendoki dengan susah payah. Beberapa tetesan bubur memgotori pakaiannya. Isi mangkuknya sudah habis, tapi anak itu kelihatannya masih lapar.
Isobel mengangkat mangkuk buburnya yang masih utuh lantas mengitari meja ke samping Roan. “Ayo ikut!" sahutnya sambil menarik lengan anak itu keluar pintu dapur.
Ia tak tahu apa yang dilakukan Igor di belakang. Ia tak peduli. Menurutnya, kakeknya orang yang ragu-ragu, cenderung diam, dan hanya bergerak ketika diperintah. Seakan-akan angin lah yang menggerakkannya.
Di luar dugaan, ternyata Roan mudah sekali ditarik ke sana ke mari. Tidak ada perlawanan, tidak menggeram atau mencakar selayaknya anjing atau serigala. Mungkin karena wajah Isobel sudah cukup familiar. Atau mungkin baunya mengingatkan pada Igor.
Dari pintu dapur, Isobel membawanya berbelok ke lorong berjarak pendek, menuju sebuah tangga kayu curam yang mengarah ke atas. “Naik!" sahut Isobel sambil menunjuk ke atas.