Shadow of the Forgotten Flame

Sadille N. Mouren
Chapter #14

The Cost of Power

Lembar-lembar catatan pajak itu terus menumpuk, tapi otaknya melayang ke tempat lain. Entah sudah ke berapa kali Magnus Lennox membaca angka-angka sialan itu, dan semuanya masih tak masuk akal. Ia telah menyesuaikan dengan keuntungan penjualan dan total pendapatan wilayahnya, namun perhitungan itu seolah mempermainkan pikirannya. Ia sempat mematahkan sebuah pena ketika menyadari dirinya salah hitung dan harus memulainya dari awal lagi.

Dahinya mengerut dalam, matanya panas karena kurang tidur. Kumisnya sudah mulai memanjang tak beraturan, sementara dagunya kasar karena berhari-hari tidak bercukur. Ia tak peduli. Ia tak peduli jika seluruh rambut di kepalanya rontok atau kerutan di dahinya bertambah sepuluh garis. Kepalanya sudah cukup pening memikirkan segala hal. Dan yang satu ini, harus segera diselesaikan sebelum anjing kaisar datang menagih laporan pajak rutin. Ia tak mau ambil risiko ketahuan memanipulasi pajak. Tidak boleh! Reputasi dan kekuasaan itu tidak datang gratis. Ia membangunnya dari keringat, tipu daya, dan darah. Ia tidak akan membiarkannya hancur begitu saja di depan mata para ningrat sialan itu.

Semua ini gara-gara satu kegagalan bodoh. Sekarang, kepercayaan dan kredibilitasnya di pasar gelap sedang dipertaruhkan. Ia tidak bisa membiarkan orang-orang berpikir bahwa ia lemah.

Semua itu berawal dari satu kalimat sialan itu. "Muatan gagal dikirim, My Lord," itulah pesan yang dibisikkan Malric—si kepala pelayan merangkap pengawal yang melakukan banyak hal kotor demi dirinya—berminggu-minggu lalu ketika Magnus tengah menikmati makan malam bersama istri dan ketiga anaknya.

Saat itu, ia refleks membanting garpu yang tengah digunakannya untuk menyantap bebek panggang. Suara kelontang nyaring mengejutkan seluruh anggota keluarganya, membuat mereka tersentak dan terdiam sesaat. Istrinya—yang biasanya menjaga ekspresi tenang—menegang, matanya melirik putra satu-satunya seakan meminta penjelasan. Putri sulungnya membatu di tempat, sementara si bungsu nyaris menjatuhkan potongan daging yang hendak dilahapnya.

Selera makan Magnus hilang seketika. Ia menyingkirkan serbet di pangkuannya dengan kasar dan bangkit dari kursinya. Magnus tahu, masalah itu tidak bisa diselesaikan di meja makan. Ia mengunci pandangan pada putranya, Sylas, memberi tanda agar mengikutinya ke ruang kerja di lantai atas kediaman mereka.

Ia memercayakan pengiriman itu pada Sylas. Ia mengaku sudah menempatkan beberapa informan di sepanjang jalur pengiriman. Surat-surat sudah dipalsukan. Upah tutup mata telah dikeluarkan. Semua agar muatan itu bisa keluar dari Thalvaris dan masuk ke Tarsis tanpa dicurigai. Bahkan sudah memastikan jalur yang akan dilalui aman, tanpa harus melalui pos penjaga atau petugas patroli. Rencananya sempurna. Tapi orang-orangnya tetap mati di jalan terkutuk itu.

"Ulah bandit," tukas Malric keesokan harinya. Ia telah membawa pulang sembilan mayat—enam orang anggota rombongan yang ditemukan di lokasi penyerangan serta tiga orang informan yang ditempatkan di sepanjang jalur perjalanan. Tiga informan itu sudah dibunuh sehari sebelum rombongan utama disergap.

Satu pengawal mati karena tulang rusuk yang patah menusuk paru-parunya sendiri. Si penyihir karena terkena anak panah beracun. Sisanya akibat sabetan dan tusukan senjata tajam.

Saat itu, ia tak peduli pada satu anjing pesuruh yang lolos. Ia ingin barang-barangnya kembali. Barang-barang senilai ribuan koin emas. Ia memerintahkan orang-orangnya mengawasi setiap pasar gelap di Osvalta. Sayangnya, Magnus kalah cepat. Segala umpatan tak pantas keluar dari mulutnya ketika mengetahui barang-barangnya telah berlayar dari sebuah pelabuhan kecil di Birkin. Itu terjadi sehari sebelum utusannya tiba. Barang-barangnya dibawa entah ke mana. Tak seorang pun tahu—sekunar ilegal tak pernah mencatat pelayaran mereka.

Akhirnya, Magnus memerintahkan Sylas untuk memimpin pencarian pesuruh yang melarikan diri itu. Bocah sialan itu pasti komplotannya, pikir Magnus.

Perintahnya jelas dan tegas: “Cari tikus got itu! Seret dia ke hadapanku—beserta kawanan busuknya sekalian!”

Dan kini, Magnus hanya bisa menyibukkan diri dalam pekerjaan yang sudah berminggu-minggu ia abaikan, sementara Sylas pergi menjalankan tugasnya. Jemarinya mengetuk meja dengan tak sabar. Ia gatal membayangkan pisau belatinya yang berhias rubi merah dan biru menembus kulit seseorang, mengupasnya perlahan seperti menyiangi daging buruan.

Magnus menggerutu di balik kumisnya. Ia juga harus menambah bayaran si juru tulis agar mulutnya tetap terkunci. Tidak lucu jika pencatatan kain linen dan wol murah ketahuan dirampok—Constable bisa curiga. Dan Magnus harus kembali merogoh kantong untuk sogok sana-sini.

Pekerjaannya masih jauh dari tuntas ketika ketukan di pintu membuyarkan konsentrasinya. “My Lord," suara Malric menyusul dari balik pintu.

“Apa, Malric?!” hardik Magnus. Botol tinta melayang menyeberangi ruangan. Membentur pintu lalu jatuh ke lantai. Pecahannya berserakan di antara tumpahan tinta.

Si juru tulis di meja lain berjengit—takut barangkali. Tuannya sudah beberapa kali membentaknya hari ini, padahal matahari belum juga sampai ke puncaknya.

“Tidak bisakah aku menyelesaikan semua omong kosong ini tanpa gangguan?!” lanjut Magnus. Suaranya meninggi.

Hening sejenak. Magnus pikir Malric akhirnya pergi sampai suara berdehem itu terdengar kembali. “Lord Morcant… menunggu di ruang tamu.”

Bangsat! pikirnya, rahangnya mengeras sementara kertas di tangannya nyaris diremas. Ia menarik napas panjang lalu mengusap wajahnya yang mulai berminyak.

Lihat selengkapnya