CHAPTER 14 :
Jereon tak yakin sudah berapa lama ia mengetukkan garpu ke atas daging panggang di hadapannya. Kepulan uap panas sudah nyaris menghilang, sementara aromanya sendiri sudah tidak begitu menggiurkan. Matanya menatap cincin kenegaraan di telunjuk kirinya, namun tatapannya kosong, dan kerutan dalam di alisnya memperjelas betapa pikirannya sedang berkecamuk. Semalam, ia nyaris tak bisa tidur. Kepalanya dipenuhi kekhawatiran yang datang silih berganti—penobatan yang semakin dekat, tekanan dari dewan penasihat, dan yang paling membuatnya frustrasi: Cassius.
Jika bukan karena sentuhan lembut di punggung tangannya, mungkin ia akan terus larut dalam pikirannya sendiri.
“Ada apa, Nak? Kau tidak suka makanannya?” Suara Amarante terdengar lembut, penuh perhatian.
Jereon tersentak, seolah dirinya baru saja ditarik kembali ke dunia nyata. Ia mengerjap, menatap rangkaian bunga di sudut ruangan. Tirai merah marun bermotif bunga bergerak perlahan di samping. Tidak jauh dari balik jendela, suaka ibunya yang berupa kubah kaca berkilauan seperti permukaan air danau.
Paviliun Jereon tak pernah seberbunga ini. Ia lalu menoleh ke arah ibunya. Seketika itu juga tersadar bahwa ia tengah berada di paviliun milik Amarante.
Sarapan bersama di paviliun ibunya. Itu yang ia janjikan kemarin. Tapi, alih-alih fokus pada kebersamaan mereka, pikirannya malah mengembara tak tentu arah.
“Maafkan aku, Ibu,” jawab Jereon. “Belakangan ini aku hanya…” embusan napas berat lolos begitu saja. Seharusnya ia tak begini di hadapan ibunya. Kendalikan, pikirnya.
Amarante tersenyum tipis. Ia menatap lekat wajah putranya seakan dapat melihat sesuatu di sana. “Gugup?” tebaknya dengan nada penuh pengertian.
Jereon tidak langsung menjawab. Tidak sepenuhnya salah. Ia hanya menatap ibunya, balik menelaah wajah lembut yang begitu akrab namun terasa semakin jauh dari segala urusan yang tengah ia hadapi. Kerutan-kerutan halus di wajah sang ibu samar terlihat saat Jereon memusatkan perhatiannya seperti ini.
Sejak dulu, Amarante—sang mantan permaisuri—tidak pernah benar-benar terlibat dalam politik kekaisaran. Mendiang kaisar menjaganya tetap berada dalam dunia yang terpisah—mengurus istana, menghadiri pesta, menjaga hubungan dengan bangsawan. Ia mungkin tahu permainan kekuasaan macam apa yang sedang terjadi. Ia selalu dapat menebaknya. Tapi, seperti yang diinginkan ayahnya, ia menjaga jarak.
Dan mungkin memang lebih baik seperti itu.
“Bukan masalah besar,” jawab Jereon akhirnya, memaksakan senyum kecil agar ibunya tak khawatir.
Namun, Amarante adalah seorang ibu. Matanya meneliti wajah putranya dengan saksama. Ia tahu Jereon tidak sepenuhnya jujur. Tapi, alih-alih mendesak, ia hanya menghela napas pelan. Ia meletakkan garpu dengan tenang, lalu mengulurkan tangan, membelai lembut pipi putranya. Satu tangan lainnya bertengger di dada—seakan memastikan liontin di balik pakaiannya masih di sana dan meredam kecemasan yang tak pernah benar-benar hilang. “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kau seorang kaisar, tapi kau tetap manusia. Jangan biarkan kekhawatiran menggerogoti kesehatanmu.”
Jereon tidak menjawab. Ia menunduk dan akhirnya mulai menyantap makanannya—meskipun lemak mulai menggumpal di sana. Amarante menatapnya sejenak, lalu tersenyum lega.
Namun, dalam hati, Jereon tahu. Bukan hanya kesehatan yang ia pertaruhkan. Tapi juga kebebasan dan dirinya sendiri. Dan, jika bicara soal kebebasan, hal itu tak lepas dari Cassius.
Siang nanti, Jereon akhirnya akan bertemu dengan Cassius untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu absen dari rapat. Mengurus utara, katanya. Persiapan menjelang musim dingin, barangkali? Apapun alasannya tetap meragukan. Sepengamatannya, utara begitu-begitu saja. Dingin, kejam, tak berperasaan. Sama seperti penguasa utamanya.
Cassius telah kembali sejak seminggu yang lalu, dan Jereon sudah mengirimkan surat perintah agar ia dan anggota dewan penasihat lainnya segera menemuinya. Namun, bukannya segera menghadap, ia malah mengirimkan surat balasan yang mengatakan bahwa ia tak bisa segera datang—tanpa alasan jelas.
Tentu saja Jereon merasa tersinggung. Ia benci dipermainkan, terlebih oleh orang yang seharusnya melayani kekaisaran. Memangnya, apa yang lebih penting daripada memenuhi kewajiban terhadap kaisarnya? Namun, ia sadar, sebagai kaisar baru, ia harus bersikap bijak. Satu kesalahan kecil saja bisa menjadi bahan gosip yang merusak reputasinya, terutama di kalangan bangsawan oposisi yang selalu mencari celah kelemahan keluarga kekaisaran. Dan itu hanya akan menguntungkan si penyihir tua.
Untuk sementara—setidaknya sampai ia benar-benar dinobatkan dan mendapat kuasa penuh—Jereon harus menahan diri. Bahkan sebelum membahas masalah penggantian dewan penasihat, ada hal lain yang lebih mendesak: pemilihan calon permaisuri.
Itulah alasan utama ia ingin berdiskusi dengan dewan penasihat—terutama Cassius. Meski tak yakin akan mendapat saran yang memuaskan, Jereon tahu bahwa sebagai ketua dewan penasihat, Cassius memiliki pengaruh besar. Hampir semua orang di istana berharap setidaknya Jereon mendengarkan pendapat pria itu. Tapi pendapat orang tidak harus selalu diikuti, kan?
Saat memasuki ruang rapat, Jereon mendapati para anggota dewan penasihat telah berkumpul, duduk mengelilingi meja besar berbentuk oval. Seperti biasa, mereka mengenakan jubah biru tua dari beledu kualitas tinggi, bersulam burung hantu dari benang perak. Sekali lihat saja, Jereon bisa menebak kehidupan mewah macam apa yang mereka jalani.
Dasar orang-orang munafik, ujar Jereon dalam hati, bukan hanya merujuk pada kehidupan mewah mereka, juga pada lambang burung hantu yang mereka banggakan. Ia bahkan tak ingin memandang mereka. Gelas piala berisi anggur yang tersaji di meja sepertinya lebih menarik. Tetap saja, lambang burung hantu perak itu menarik perhatian siapa saja. Lebih dari seharusnya.
Burung hantu. Lambang kebijaksanaan dan pengetahuan luas. Sekilas, cocok digunakan untuk lambang dewan penasihat. Tapi, yang kerap dilupakan orang adalah kaitannya dengan praktek sihir ataupun penyihir itu sendiri.
Dewan penasihat terdiri dari tujuh orang, termasuk Cassius sebagai pemimpin mereka. Empat di antaranya adalah penyihir, sedangkan tiga lainnya merupakan bangsawan yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petinggi Menara Gading. Dengan kata lain, para penyihir memegang kekuasaan terbesar setelah kaisar.
Jereon tak habis pikir bagaimana dua generasi kaisar terdahulu bisa mempertahankan susunan dewan penasihat seperti ini. Kekaisaran tak hanya terdiri dari penyihir, tapi juga para pendeta, akademisi, bangsawan, borjuis, serta rakyat jelata yang memiliki kepentingan dan suara masing-masing. Sistem ini… sudah rusak sejak awal. Dan jelas hanya menguntungkan satu pihak. Kelak, hal ini dapat menimbulkan masalah sendiri.
Para anggota dewan penasihat bangkit berdiri dan memberi hormat begitu Jereon masuk. Meski bersikap hormat, keangkuhan tetap terpancar jelas dari raut wajah mereka. Jereon menghela napas sebelum akhirnya duduk di bangku yang telah disiapkan untuknya. Namun, pandangannya segera tertuju pada satu kursi kosong di seberangnya.
“Mana ketua kalian?” tanyanya, nada suaranya tajam.
Alih-alih dijawab langsung oleh anggota dewan, sekretaris kerajaan yang berdiri di dekatnya segera mendekat dan berbisik pelan, “Lord Morcant mungkin sedikit terlambat karena ada urusan mendesak yang tidak bisa ditunda, Yang Mulia.”
Jereon mendengus pelan, menahan rasa kesal yang mulai menjalari dadanya. “Baiklah. Kita bahas hal lain sebelum masuk ke topik utama, sambil menunggu dia tiba.”
Pertemuan itu tak berjalan sesuai kehendaknya. Jadwalnya berantakan. Cassius tak kunjung datang. Bahkan setelah pelayan mengganti anggur dengan menyeduh teh tiga kali dan membiarkannya dingin.
Jereon mulai kehilangan kesabaran. Pembahasan-pembahasan kecil seperti rencana ekspedisi ke pegunungan Irsa dan restorasi pelabuhan lama cukup disampaikan dalam bentuk laporan rutin. Sedangkan pembahasan orang hilang di wilayah timur seakan hanya angin lalu bagi mereka. Siapa juga yang bakal peduli pada orang-orang yang dianggap barbar? Ia akan terlambat menghadiri audiensi di ruang singgasana—sesi temu janji dengan lord-lord kecil dari berbagai wilayah.
Para lord itu datang jauh-jauh untuk mengajukan permohonan bantuan atas masalah yang mereka hadapi di daerah masing-masing. Tidak mudah bagi mereka untuk mendapat audiensi. Surat permohonan bisa saja baru mendapat jawaban berbulan-bulan kemudian, atau bahkan setahun setelah diajukan. Itupun tak semuanya disetujui. Tidak efisien, pikir Jereon. Setelah ia resmi dinobatkan banyak hal yang harus diubah.
Tapi hal itu masih sangat jauh. Membuat Jereon setengah berharap waktu cepat berlalu. Salah satunya agar pertemuan menjemukan ini segera berakhir.