Shadow of Treachery

Ang.Rose
Chapter #4

NOT VERY COMEBACK

Tama Arkara, seorang penyidik KPK yang baru saja selesai masa skors selama 2 bulan tapi gaji. Yang dia lakukan, bukan hanya sekedar kode etik namun juga kekerasan dan penyerangan, tidak ada yang menyalahkannya, mungkin jika masyarakat luas tahu apa yang terjadi, mereka akan meminta KPK untuk tidak memberikan Tama sanksi apapun.

“Wow, apa kabar, orang yang baru selesai masa skors?” sapa anggota tim miliknya, satu-satunya yang tersisa karena yang lain meminta untuk di relokasi ke tim lain.

“Kopi gak ada?” tanya Tama sambil tersenyum.

“Baru juga masuk udah merintah aje, bang. Udah gue siapin, kopi hitam 4 shot tanpa gula,” Bagas memberikan tumblr gelas itu padanya.

“Oh, thank you.

Tama menyesap kopi itu, seperti biasa rasa pahit bercampur getir dan asam, sama seperti hidupnya beberapa bulan kebelakang, menyelidiki kasus korupsi pengadaan alat rumah sakit, yang menyebabkan 3 orang meninggal, 1 diantaranya adalah anak kecil berusia 5 tahun.

Pelaku tidak memiliki rasa bersalah, karena itu Tama memukul orang gila itu hingga wajahnya penuh dengan memar, dia tidak pernah menyesali apapun yang dia lakukan. Semua orang selalu berpikir jika Tama berasal dari keluarga kaya yang menjadi penyidik KPK tapi nyatanya, orang tuanya telah meninggal sejak dia kecil, bahkan instansinya sendiri pun tidak bisa menjatuhkannya.

Bagaimana bisa menjatuhkan seseorang yang tidak memiliki apa-apa? Dia hanya memiliki keberadaannya.

Belum ada beberapa jam dia sampai di gedung tinggi yang sepertinya adalah sebuah tempat suci bagi beberapa orang, Tama sudah merindukan Fiona. Fiona tidak tahu tentang masalah ini, hanya Franz yang mengetahui tentang masalah skorsing Tama.

Bukannya membenci Tama karena takut akan temperamen juga ke adiknya, tapi justru Franz menasehatinya dengan kata-kata yang tidak bisa Tama jawab dan hanya mengangkat jempolnya.

“Kalau cuma bengep atuh sayang Tam, skors lo jadi sia-sia, mending sampe pingsan kalau perlu patahin batang hidungnya, pukul juga perutnya biar goyang lambungnya. Saya kalau babak belur doang.”

Siapa yang tidak terkejut mendengar hal itu muncul dari mulutnya.

“Udah ada kerjaan?” tanya Tama begitu mereka masuk ke dalam lift.

“Lo disuruh menghadap Pak Ardian.”

“Gue? Ngapain?”

“Gak tahu, gue juga disuruh ikut sih gak lo doang.”

“Kasus baru kayaknya.”

Tak lama lift itu berhenti, dan mereka berdua langsung berjalan menyusuri lorong dan pergi ke ruangan itu, ruangan dengan tulisan Kepala Divisi 4. Bagas mengetuk pintu. “Masuk,” terdengar suara dari dalam.

Mereka berdua pun masuk. Pak Ardian yang merupakan atasan mereka langsung tersenyum getir melihat Tama yang datang kembali ke kantor. Tama menyadari tatapan menjijikan itu darinya.

“Harus saya buat pesta penyambutan, Tama? Kayaknya kamu seneng banget abis di skors, gak ada penyesalannya.”

“Ngapain menyesal, dia seharusnya juga dituntut dengan pembunuhan.”

“Bukti yang kamu punya cuma korupsi pengadaan alat, bukan bukti atas dasar kasus pembunuhan, jadi gak usah ngarang bebas, gak usah buat novel.”

“Hah, capek emang ngomong sama bapak. Jadi saya disuruh kesini kenapa?”

“Ada tersangka di Polres Jaksel dia bilang kalau dia punya bukti adanya dugaan skandal keuangan di salah satu bank.”

“Nominal?”

“30 triliun."

“30 triliun? Masih lebih besar kasus tambang kemaren lah kalau gitu. 30 T mah, kenapa gak di kasih ke yang lain aja? Lagi kasus tambang kemaren harusnya punya saya.”

“Yang bos disini kamu atau saya? Makanya kalau mau pegang kasus besar jangan mukul tersangka. Udah sana pergi, kolestrol sama darah tinggi saya naik ketemu kamu.”

Lihat selengkapnya