Vivi sempat ragu untuk turun dari mobil dan masuk ke dalam, tapi masalahnya jika bukan sekarang Vivi tidak tahu kapan dia bisa bertanya langsung apa yang terjadi 20 tahun lalu, apa yang terjadi waktu itu.
Vivi memang pernah beberapa kali mendengar nama Barni, termasuk ketika malam sebelum kejadian naas itu terjadi. Jika dia tidak turun dia tidak akan mendapatkan jawabannya, jika dia turun apa dia bisa menanggung kenyataan yang akan dia dengar?
Pergolakan batin Vivi terus menerus terjadi hingga dia tidak bisa menahan diri, nafasnya mulai tercekat, udara di dalam mobil terasa membunuhnya perlahan-lahan, sesak yang muncul secara tiba-tiba membuatnya tidak bisa berpikir jernih, sesaat ketika dia pikir dia akan pingsan, pintu mobilnya terbuka, dia merasa dirinya dipeluk dan mulai bernafas karena udara dari luar yang bisa dia hirup.
“Breath, Vence, breath,” ucap suara itu menenangkannya.
Vivi mulai mengatur nafasnya, dia mulai berusaha untuk bisa bernafas dengan normal. Paru-parunya kini sudah bekerja normal kembali, dia melihat orang yang memeluknya, ya dia tahu orang yang memiliki lengan besar yang bisa menyembunyikannya.
“Lo kesini?”
“Gue gak tahu ini orang siapa dan gak mau cari tahu juga, tapi Chian bilang kayaknya gue harus nemenin lo hari ini.”
“Anak rese emang.”
“Buat jaga-jaga gue udah masukin nama lo di daftar pengunjung, ayo gue temenin masuk.”
Vivi hanya mengangguk mereka masuk ke dalam rumah singgah itu dan bertemu dengan penjaga di depan.
“Mau bertemu siapa?”
“Ah, Pak Barni, sus, ada?”
“Mbaknya siapa namanya?”