“Rumah Sakit Satya,” ucap Fiona begitu mengangkat telfon yang berdering itu.
“Kami bawa pasien darurat, satu rupture in abdomen and probably concussion. Can you open up the ER?”
“Sure, the ETA?”
“5 minutes away.”
Fiona langsung mematikan panggilan tersebut lalu keluar dari nurse station. “Incoming! rupture in the abdomen and probably a concussion. Clear the way and trauma rooms. ETA 5 minutes! Yun! Panggil Dokter Nusa.”
“On it.”
Rumah Sakit Satya merupakan Rumah Sakit Trauma di Jakarta, mereka banyak menangani pasien-pasien gawat, seperti akibat kecelakaan dan juga kasus-kasus yang lukanya cukup parah.
Tak banyak Rumah Sakit yang mau menampung pasien trauma karena biaya perawatannya begitu mahal dan terkadang juga tak banyak asuransi yang bahkan tidak bisa membayar dengan penuh.
Namun seluruh Dokter yang bekerja di Rumah Sakit ini begitu berpengalaman berpacu dengan waktu dan mampu mengambil keputusan secara singkat.
Fiona sudah menunggu di depan pintu UGD sambil menunggu dimana ambulance itu akan datang.
“Fiona!” sebuah suara memanggilnya dari belakang, Fiona menoleh dan ternyata itu adalah Dokter Nusa, salah satu Neurosurgeon yang ada di Rumah Sakit ini sekaligus, istri dari pemilik Rumah Sakit Satya.
Melihat wajah Dokter Nusa yang begitu cemas dan ketakutan, terlihat dia seperti habis menangis dan seperti baru saja memaki seseorang. Fiona akhirnya mengerti tatapan itu.
“No way!” seru Fiona. “Which one?”
“I don’t know yet.”
Sebuah mobil hitam masuk ke area UGD, seorang laki-laki yang tinggi keluar dari dalam mobil dan juga seorang laki-laki lain yang kaos putihnya sudah penuh dengan noda darah.
Tanpa banyak bicara mereka mengeluarkan korban yang dimaksud, pertama Bagas keluar, Fiona tidak melihat ada bekas luka tusukan disana. Itu artinya—akhirnya laki-laki yang tubuhnya agak besar itu perlahan mengeluarkan Tama dari dalam mobil dengan kondisi yang sudah dibalut dengan perban pertolongan pertama oleh mereka.
Fiona membantu mereka mendorong Tama sampai ke ruang Trauma untuk observasi dan penanganan pertama sebelum akhirnya ke ruang operasi. Fiona mengurungkan niatnya untuk membantu dia menyingkir dari ruangan itu karena tahu dia tidak akan bisa objektif dan hanya akan mengganggu para dokter yang menangani Tama dan Bagas.
Yang dia pikirkan sekarang hanya, kakaknya dia harus menghubungi kakaknya. Apa yang terjadi pada Tama mungkin kakaknya tahu sesuatu.
“Kak Angka,” panggilnya.
“Kamu nelfon ngapain? Bukannya lagi kerja?”
“Tama sama Bagas dateng ke rumah sakit tapi kondisinya—Tama dateng dengan luka tusuk.”
“Kakak kesana, kamu tenang, Tama pasti baik-baik aja.”
“Kak ada kemungkinan tusukannya sampai ke liver, kalau livernya harus dipotong, gimana Tama nanti, Kak?”
“Fion! Denger Kakak, Tama akan baik-baik aja, Kakak kesana kamu tenang aja.”
Fiona duduk di depan ruang operasi menunggu Tama selesai di operasi, operasi yang baru berjalan 2 jam itu terasa sudah seperti sehari lamanya, seakan operasi itu tidak selesai-selesai. Franz yang baru sampai pun memeluk adiknya.
Fiona tak kuasa menahan tangisnya begitu sang kakak muncul dihadapannya. Kehilangan orang tua sudah cukup, bounding yang terjalin di antara mereka membuat keduanya bisa berkomunikasi tanpa harus bicara.
Bagi Fiona yang ditinggal oleh orang tua sejak kecil dan Franz adalah jangkar kehidupannya sejak lama, dan kini dia punya Tama, tapi ketika dia melihat Tama seperti ini tidak ada di pikirannya bahwa dia yang bekerja sebagai suster akan melihat Tama berlumuran darah.