Sudah hampir seminggu Tama dan Bagas menjalani perawatan di rumah sakit. Bagas sudah boleh pulang dua hari yang lalu. Sedangkan Tama masih harus dalam pengawasan karena luka tusuknya yang sebenarnya juga belum kering, sang Tante masih menginginkan Tama untuk tinggal di rumah sakit lebih lama, tapi memang sepertinya itu hal yang sulit.
Nusa sebagai tante Tama mengerti betul sikap keponakannya itu, begitu keras kepala dan sulit diatur, bahkan ketika mereka berniat untuk mewariskan Rumah Sakit ini kepadanya, dia justru mengambil sarjana hukum dan mengikuti ujian tes masuk ke KPK.
Mengingat lagi skandalnya beberapa bulan lalu temperamen Tama tidak pernah berubah.
Jika tidak bekerja Fiona akan tidur di kamar Tama, merawatnya dan membantunya melihat luka operasinya, Fiona tidak tega melihat Tama sedangkan Tama tidak enak hati melihat Fiona yang terus menerus khawatir dengan keadaannya.
“Fion,” panggil Tama.
“Kenapa ada yang sakit?”
Tama menggelengkan kepalanya. “Kamu kesini dulu aku mau ngomong.”
“Tam, kalau kamu ngajak aku ngomong untuk aku ninggalin kamu, maaf aku gak mau.”
“Fiona.”
“Tama, aku cuma minta satu dari kamu, jangan pernah dateng kerumah sakit dengan kondisi yang kaya gini, kamu gak kasian sama Dokter Nusa?”
“Kenapa tante aku kamu bawa?”
“Ya karena aku tahu rasanya kehilangan keluarga!”
“Kamu pikir aku gak!?”
Keduanya terdiam. Ya mereka berdua sama-sama sudah kehilangan orang tua, bedanya jika Tama masih memiliki Dokter Nusa atau adik ibunya, sedangkan Fiona hanya memiliki sang kakak, Franz sebagai jangkar kehidupannya.
Mereka berdua saling bergantung, tak banyak yang mengerti kalau Franz begitu memanjakan Fiona, namun Fiona seakan terlalu cepat dewasa ketika dia mulai paham, orang tuanya tak ada lagi, mereka harus hidup berdua.
Sedangkan Tama meskipun kehilangan orang tua, kehilangan sosok ibu dan ayah. Om dan Tante-nya masih merawatnya dan memberikan kasih sayang yang cukup walau tidak sama.
Ketika mereka berdua bertemu di sekolah, berawal dari bersahabat hingga akhirnya menjalin hubungan, mereka jarang berbicara masalah keluarga, karena mereka sama-sama tahu, itu adalah topik yang akan selalu mereka hindari.
Tama dan Fiona selalu berpegangan satu sama lain. Keduanya mulai membentuk jangkar kehidupan yang baru, keduanya tak mau berpisah dan tak bisa berpisah.
“Maaf, aku gak maksud bentak kamu, kamu capek aku pun juga capek. Aku minta maaf, udah buat kamu khawatir.”
“Aku juga minta maaf. Tam, aku cuma minta satu hal sama kamu, hal yang sama yang aku minta ke Kakak juga, tolong, tolong jangan mati, jangan dateng ke aku dengan bersimbah darah.”
Tama membuka pelukannya menyuruh Fiona untuk datang kepelukannya. Fiona pun memeluk Tama dengan perlahan tanpa harus melukainya.
“Tapi mungkin aku akan jawab dengan jawaban yang sama kayak Abang. Aku gak bisa janji gak akan mati, tapi aku berusaha untuk gak terluka terlalu parah, dan masih bisa pulang ke kamu dengan selamat.”
“Just don’t die on me.”
“I’ll try.”
***
Fiona kembali ke rumah, Franz menyuruhnya untuk pulang malam itu karena mereka harus pergi besok pagi, ada yang harus mereka lakukan, besok merupakan hari ulang tahun mendiang ibu mereka dan biasanya mereka akan mengunjungi makam kedua orang tua mereka.
Namun pemandangan hari itu cukup berbeda, Franz terlihat gelisah dan tidak tenang, dia tahu mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk bertanya pada Franz pertanyaan yang sejak kecil dia ingin tanyakan namun tidak pernah bisa dia tanyakan pada kakaknya.
Semenjak kedua orang tua mereka meninggal, Franz tidak pernah mau menempati kamarnya terdahulu lagi, kamar yang terpisah dari rumah utama, dia meninggalkan kamarnya dan menempati kamar yang dulu ditempati Vivi.
Seorang kakak yang tak pernah dia harapkan tapi itu merupakan kehidupan terbaiknya, bukan hanya dia, tapi juga Franz. Bahkan tak butuh orang pintar untuk melihat bahwa Franz dan Vivi memiliki perasaan satu sama lain.
Tapi bagaimana mau bersama ketika datangnya Vivi secara misterius dan perginya pun secara misterius.
“Kakak, mau nasi goreng?” tanya Fiona sambil mengangkat plastik yang berisikan nasi goreng depan gang langganan mereka sejak lama.
Keduanya hanya duduk di teras sambil melihat kamar yang kini telah kosong dan tak ada barang bahkan hampir roboh. Fiona sesekali melihat kakaknya yang tetap diam, meskipun ini adalah makanan yang kesukaannya.
Fiona bisa melihat bahwa pikirannya begitu banyak.
“Kak, aku gak pernah nanya, tapi, kenapa kakak gak pernah ngomongin Kak Vivi sejak mama papa meninggal?”
Kali itu, Franz langsung menoleh ke arah Fiona, “kamu inget Vivi?”
“Aku inget, aku sebenernya mau nanya tentang dia, tapi, waktu polisi dateng, Kakak gak nanya gimana keadaan Kak Vivi. Jadi kupikir kita gak boleh ngomongin Vivi lagi.”
“Maksud kakak waktu itu, kakak pikir kamu gak inget, kalau gak inget untuk apa kakak bahas ke kamu.”
“Terus menurut kakak, Kak Vivi kemana? Apa ikut kecelakaan juga?”
Franz terdiam, dia melihat ke langit sambil menghela nafas berat. “Waktu denger polisi cuma kasih keterangan tentang kecelakaan itu, yang dibahas cuma soal mama sama papa. Mereka gak nyebutin Vivi. Kakak gak nanya soal Vivi karena kakak inget pesen papa keberadaan Vivi itu rahasia. Jadi kakak pikir mereka emang udah berhasil mindahin Vivi.”
“Terus sekarang Kak Vi udah ketemu?”
“Belum, tapi kemungkinan setelah ini kakak bisa ketemu dia.”
“Aku sebenernya denger pembicaraan papa sama mama malem-malem waktu kakak sama Kak Vi keluar rumah makan es krim.”