2 hari kemudian
Rumah Franz kini benar-benar dijadikan markas oleh mereka. Andre awalnya tidak setuju dengan hal ini bagaimana pun Franz sudah menjadi warga sipil dan mereka ada di tengah-tengah lingkungan masyarakat biasa, jika terjadi sesuatu nanti sewaktu situasinya sudah memanas ini akan jadi batu sandungan untuk mereka semua.
Namun setelah TRP berdebat cukup panas, argumen Reigha ada benarnya. Walau pada kenyataannya Franz, Roy dan Tama tahu tentang TRP keberadaan mereka adalah rahasia, menjadikan tempat sipil sebagai markas akan jauh lebih baik dari pada nantinya markas TRP diketahui oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Sekali lagi, argumen milik Reigha masuk akal, dan bahkan Franz pun menyarankan hal yang sama karena dia tahu keberadaan mereka yang tidak bisa diketahui oleh siapa-siapa akan jauh lebih mudah menutupi apa yang terjadi di rumahnya daripada di markas TRP pribadi.
Kali ini, hanya Franz, Reigha dan Putra yang ada di rumah, sedangkan Roy pergi ke Mabes karena sudah beberapa hari ini dia bolos masuk kerja, Tama pun juga begitu, dia pergi kantor karena setelah ini mereka akan menjalankan fase 1 rencana mereka.
Televisi dirumah Franz tidak pernah mati sejak dua hari lalu, mereka sibuk memantau berita, baik di TV, online dan media sosial. Bahkan Roy menyuruh Candra untuk mengawasi beberapa portal berita wartawan bodrek. Pekerjaan ini cukup lelah, bahkan ketika Franz masih berada di kepolisian dia bisa beristirahat di rumah dan bekerja di kantor, tapi kini dia tidak bisa membuat batasan antara rumah dan pekerjaan.
Franz mengambil ponsel dan menghubungi seseorang, untuk mendapatkan informasi.
“Bang Franz? Tumben nelfon, kenapa?”
“Lo yang tumben gak nelfon gue. Kasus Junaidi gimana?”
Orang yang dia hubungi adalah Kania, saat ini dialah mata yang dimiliki oleh Franz selain Roy, di kepolisian. “Nia gak tahu banyak soal kasus itu— Nia di suruh mundur.”
Franz terdiam sesaat, ada yang aneh, tapi dia tidak tahu apa itu, hanya saja perasaannya mengatakan ada sesuatu. “Lah kenapa? Pasti ada alasannya kan? Bilang aja sama gue, ada apa?”
“Nia gak bisa bilang bang, intinya Nia gak tahu apa-apa soal penyelidikan ini, lagi pula bang, abang udah jadi warga sipil, udah cukup bang jangan ikut campur sama kasus ini, Nia gak mau abang ikut campur.”
“Nia, lo selalu ngelibatin gue sama kasus yang lo pegang, kenapa ini gak? Ada apa?” tanya Franz curiga. “Ada yang ngancem?”
“Nggak ada! Udah cukup ya. Gak usah diperpanjang!” seru Kania lalu mematikan panggilan tersebut.
Franz hanya heran dengan tingkah Kania menurutnya ini agak aneh. Namun ada sebuah pesan singkat yang dia kirimkan.
Bentar lagi ada paparan autopsi Junaidi.
“Rei, katanya mau ada paparan dari kepolisian bentar lagi.”
“Soal?” tanya Reigha tanpa menoleh karena sedang sibuk dengan makanan yang ada didepannya.
“Enak banget itu ikan asin?” ucap Franz yang cukup terkejut melihat Franz dan Putra yang makan dengan lahap.
“Sumpah Franz, masakan adek lo enak banget,” ucap Putra yang entah sudah nambah berapa kali.