4 Bulan seterlah Vivi tinggal bersama dengan Keluarga Wira
Dar~!
Petir sejak tadi terus menerus bergemuruh, suara gemuruh yang menggetarkan kaca, suara hujan yang turun begitu kencang hingga terdengar seperti kerikil, Fiona sudah sejam selalu berteriak dan menangis, anak itu memang takut terhadap petir dan hujan, suara kilat yang menggelegar dan juga langit yang mendadak terang untuk beberapa detik membuatnya takut.
Maria tidak bisa meninggalkan anaknya yang sedang histeris, Firoz tidur di ruang tamu yang dekat dengan kamar Fiona, sedangkan Franz dan Vivi tidur di lantai memakai matras di kamar Fiona.
Mereka terus menemani Fiona yang masih histeris, Maria hanya berdoa semoga hujan cepat berhenti dan anaknya bisa tenang. Namun sepertinya, Tuhan tidak menjawab doanya. Bukan hujan yang berhenti namun telepon rumah mereka yang berdering, Firoz terkejut mendengar suara telfon sedangkan Maria langsung membeku sambil melihat jam.
Seakan deja vu, 4 bulan yang lalu di hari hujan yang sama, ketika Fiona sedang histeris telfon rumah mereka juga ikut berdering, Maria berjalan keluar dari kamar Fiona dan menutup pintu.
“Perasaan aku gak enak Pa,” ucap Maria.
Mereka sudah tahu apa duduk permasalahan mengenai Vivi dan kementerian, hanya masalah waktu sampai mereka sadar apa yang sebenarnya terjadi, dan mungkin ini adalah waktunya, waktu dimana mereka harus bertaruh nyawa.
Maria dan Firoz merupakan agen elite, setelah mengetahui semua hal tersebut, Firoz langsung bergerak cepat membuat beberapa skenario jika saat ini terjadi, bagaimana Vivi, bagaimana nasib keluarganya nanti, mereka juga melakukan banyak skenario jika nanti mereka juga harus mengorbankan nyawa.
Firoz dengan langkah pasti mengangkat telfon itu. “Wira.”
“Fir, ini Barni. Mereka nemuin jenazah The Code dua hari yang lalu dan hasil otopsinya udah keluar, dia udah meninggal sejak 6 bulan yang lalu, itu artinya anak itu pelakunya!”
Firoz menatap Maria sambil menggelengkan kepalanya, kaki Maria seakan lemas, dia bersandar ke dinding di belakangnya, ya selesai sudah, kini pemerintah sudah tahu apa yang terjadi, mereka kini menganggap Vivi sebagai pelaku kejahatan dan tidak mungkin jika mereka tidak akan mengeksekusi Vivi nantinya.
“Fir, kamu denger gak saya ngomong apa?”
Firoz akhirnya sadar dari rasa terkejutnya. “Ya, ya saya denger, kapan mereka datang?”
“Mungkin sejam lagi sampai, tapi hari ini hujan, jadi belum tahu.”
“Bisa mereka datang nanti? Biar Vivi bisa pamitan dulu sama yang lain?”
“Fir, dia tersangka, dia berbahaya— oh! Astaga, kalian sudah tahu? Anak-anak kalian tahu?”
“Anak-anak kami enggak tahu apa-apa Bar.”
“Daftarnya, daftarnya dimana? Kalian tahu?”
“Daftar apa?” Firoz bertanya.
“Dia gak bilang dimana daftar itu berada?”
“Barni!” seru Firoz. “Bisa kamu ulur waktu? Saya gak mungkin serahin Vivi ke negara.”
“Firoz! Keluarga kamu bisa dianggap penghianat!”
“Kasus ini gak akan muncul ke media, gak akan ada yang tahu, lagi pula siapa yang akan percaya? Gak ada! Barni kamu harus bantu saya.”
“Saya usahain untuk ulur waktu. Kamu lakukan yang kamu mau lakukan.”
“Terima kasih.”