Matahari terbit dan mulai mengintip di sela tiraiku. Bagaimana bisa tidur yang selalu membuatku lupa akan waktu, terganggu hanya karena setitik sinarnya itu.
Sinar matahari?
Okey, inilah kebodohanku, seolah tersadar akan sesuatu yang amat sangat mendesak, aku terbangun dan melangkah cepat menuju kamar mandi dan bergegas untuk bersiap.
"Hari yang buruk untuk memulai sekolah di tempat yang baru, hufffttt."
Suara ketukan pintu membuatku semakin cepat menyelesaikan ritual mandiku dan dengan cepat pula aku pun keluar dari kamar mandi. Tubuh yang masih terlilit handuk dengan rambut yang masih terurai basah meneteskan air membuat lantai menjadi licin.
Suara jatuhan berdentum sangat keras membuat seseorang yang kini berada di balik pintu pun masuk dengan wajah paniknya.
"Astaga, ngapain kamu tiduran disitu, Dek?" tanya kak Andik seraya membantuku berdiri.
"Licin."
"Iyalah, tuh liat, lantainya basah gara-gara rambut kamu juga. Sini, Kakak bantu keringin."
"Eh, aku pakai seragam dulu deh, Kak."
Kulihat kak Andik mendekati meja riasku dan mengambil Hairdryer yang sebelumnya sudah kusimpan di atas meja.
Kutatap kembali pantulan tubuhku yang kini telah terbalut dengan seragam sekolah baruku.
Kak Andik melambaikan tangannya menyuruhku untuk mendekat. Aku pun duduk tepat di hadapannya yang kini sudah rapi dengan setelan jas hitam dan dasi biru yang melingkar di lehernya.
Suara mesin hairdryer mulai menyala dan kini di gerakkan mengikuti setiap uraian rambutku. Hingga, suara kak Andik memecah suara bisingnya mesin pengering rambut itu.
"Dek, nanti di sekolah, kamu harus bisa pilih temen." Ucapannya membuatku mengernyit tak mengerti.
"Memangnya kenapa, Kak?"
"Setau Kakak, Dienga itu sekolah elit yang mementingkan kekayaan gitu, Kakak takut kamu salah pergaulan atau bahkan jadi korban dari mereka."
"Kalau mau punya temen jangan pilih-pilih lah, Kak. Toh, belum tentu kan, orang yang aku pilih nanti suka berteman sama, Aku."
"Iya juga sih, tapi, gatau kenapa, Kakak kurang suka kalau kamu masuk kesana."
"Protes sama ayah, gih. Aku sih, dimana aja, oke."
Terdengar suara helaan nafas dari kak Andik dan wajah yang tertunduk menyembunyikan raut risaunya.
"Kakak tenang aja, kan aku punya ayah, bunda sama Kakak juga."
Akhirnya, pria tampan berjas itu memperlihatkan senyumnya membuatku sedikit lega.
"Rambut kamu panjang banget, Dek." Ucapnya seraya memainkan rambutku yang sudah lumayan kering.
"Iyalah, kan memang sengaja dipanjangin, Kak."
"Kakak potong, ya?" mataku membulat tak percaya akan apa yang kak Andik pegang saat ini.
"Iiihhh, jangan dong, jahat amat sih, Kak. Sana- sana!" usirku kala melihat kak Andik memainkan gunting yang berada di tangannya.
"Gapapa, Dek. Anggap aja salon gratis, ya gak?"
"Ihhhh ... gamau .... Bunda, kak Andik nya nihhhh," jeritku dengan suara yang kubuat sekeras mungkin berharap bunda mendengarnya.
Rasa syukur kuucapkan kala melihat bunda datang seraya membawa alat penggorengan di tangannya.
"Kenapa, Dek?"
"Bunda, liat tuh ... kak Andik nya jail banget, masa mau potong rambut Adek sih."
"Kakak ...."
"Engga kok, Bun. Mana bisa gunting pakai jari."
"Bohong, tadi ada gunting nya kok, Bun."
"Sudah- sudah, Adek, liat sekarang jam berapa?"
Kutatap jam yang kini terpasang di dinding kamarku yang menunjukkan pukul 06.45.
"Ahhhh, Bunda, Adek gak mau telat."
"Yasudah, segera turun kalau sudah selesai."