Genta melihat kearah anak laki-laki itu dengan ekspresi khawatir, untuk kesekian kalinya ia melihat Kemal dengan luka lebam disekujur tubuhnya. Genta kemudian menghampiri Kemal dengan langkah lemas, lalu menarik lengan anak laki-laki itu yang sudah penuh dengan bekas luka pukulan.
“Apa ayahmu memukulimu lagi hari ini?”
Kemal mengangguk sambil tersenyum lirih. “Mood-nya sedang tidak bagus.”
Genta lalu berdecak kesal, ia lalu berkacak pinggang sambil melihat kearah Kemal dengan tatapan tidak percaya. “Kenapa kamu tidak pernah memberitahuku dimana tempat tinggalmu? Ini sudah keterlaluan! Kita harus laporkan tindakan ini ke polisi!”
Kemal menggelengkan kepalanya cepat. “Tidak, aku sungguh baik-baik saja. Aku sudah cukup senang punya teman bercerita sepertimu.”
“Tapi, kau tidak bisa terus hidup seperti ini! Lama-lama kau bisa mati kesakitan!”
“Tenang saja, aku tidak akan mati.” Jawab Kemal sambil memegang bahu Genta pelan. “Aku ini lebih kuat darimu, dan ini bukan masalah besar.”
“Kau punya ayah yang suka memukulimu dan ini bukan masalah besar?” Sahut Genta yang mulai terdengar geram.
“Sudah, ya! Aku harus segera pulang sekarang! Ayah bisa marah jika aku pulang terlalu malam lagi!” Seru Kemal sambil menepuk-nepuk bahu Genta. “Sampai ketemu lagi!”
Belum sempat Genta menjawab, Kemal sudah berlari cepat meninggalkan Genta yang masih berdiri diposisinya. Saat Genta memutar badannya, sosok Kemal sudah hilang dari pandangannya. Genta menghembuskan nafasnya berat, ia kemudian memutuskan untuk duduk diatas kursi taman berwarna putih yang masih terasa cukup basah karena hujan barusan.
Genta lalu mengusap wajah dengan kedua tangannya, dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Genta berharap hari ini Kemal, sahabatnya itu, bisa tidur dengan tenang dirumahnya—tanpa harus menjadi samsak ketika mood ayahnya itu sedang tidak bagus.
***
Genta kembali menutup lokernya perlahan setelah mengeluarkan buku pelajaran Matematika dan Biologi miliknya tersebut. Ketika hendak memasukkan buku-buku itu kedalam tasnya, tiba-tiba saja terdengar suara loker yang ditutup dengan cukup keras.
Genta langsung menolehkan kepalanya, pemilik loker yang berada tepat disebelah lokernya itu sudah melihat kearah Genta dengan tatapan serius.
“Lo setiap hari kerjaannya berantem sama orang, ya?” Tanya siswi perempuan yang memakai bandana berwarna mustard itu.
“Bukan urusan lo.” Jawab Genta singkat sambil memutar badannya agar tidak perlu melihat kearah siswi bernama Marsha itu.
Ketika hendak melangkah pergi, tiba-tiba saja Genta merasa lengannya ditarik. Genta lantas kembali memutar kepalanya kebelekang, dan mendapatkan sosok Marsha yang kini sudah mencengkram erat lengan Genta dengan sebelah tangannya.
“Lo ngapain sih?” Tanya Genta dengan nada bicara yang terdengar jengkel.
Tiba-tiba saja, Marsha memutar tangan Genta dengan gerakan cepat. “Liat nih, kenapa lengan lo bisa biru-biru gini?”
Genta lantas menarik tangannya dengan kasar, membuat cewek itu terpaksa harus melepaskan genggaman tangannya dari lengan Genta. “Lo kenapa sih tertarik banget sama hidup gue? Lo sama gue bahkan gak kenal-kenal banget, loh!”
“Sebagai temen sekelas lo, gue wajar dong penasaran kenapa lo setiap hari selalu punya aja luka memar dibagian tubuh, lo?” Marsha mengangkat sebelah alisnya. “Dan sebagai anggota OSIS, gue juga gak bisa biarin kalo ada tindak bullyingdisekolah ini!”
Genta lantas terkekeh pelan setelah mendengar ucapan Marsha barusan. “Bullying? Hahaha! Tenang aja, gue bukan korban bully kok. Jangan nyangka semua anak pendiem kayak gue selalu jadi sasaran bullying.”
“Gue gak nyangka kayak gitu!” Sahut Marsha dengan volume suara yang cukup keras, sehingga membuat beberapa siswa disekitar mereka langsung mengalihkan pandangannya menuju kearah Genta dan Marsha. “Gue cuma—cuma khawatir aja sama keadaan lo!”
Genta lantas terdiam untuk beberapa saat, ia melihat kearah Marsha dengan tatapan datar. Beberapa saat kemudian, cowok itu kembali tertawa kencang hingga berhasil membuat Marsha menjadi bingung sendiri.
“Udah deh, stop akting sok baik kayak gitu. Mending lo balik lagi ke dunia lo dan teman-teman populer lo itu, ketimbang harus ngurusin hidup gue.” Jawab Genta sambil tersenyum kecut.
Tidak lama kemudian, Genta langsung melangkah pergi meninggalkan Marsha yang masih berdiri ditempatnya. Andai saja ia bisa minta untuk bertukar loker dengan orang lain, mungkin ia sudah melakukannya sejak lama. Entah kenapa, cewek bernama Marsha itu lama-lama jadi semakin mengganggu.
Genta lalu melirik kearah lengannya, memang luka memar berwarna biru-keunguan itu cukup mencolok. Wajar saja bila cewek itu bisa melihatnya dengan jelas. Genta lantas berusaha mengingat apa yang ia lakukan kemarin malam sehingga luka memar itu kini ada dilengannya, apa mungkin dia sempat terjatuh dari tempat tidur?
Genta lantas menggelengkan kepalanya cepat setelah mendengar suara bel sekolah yang berbunyi sangat nyaring. Percuma, Genta juga tidak akan bisa mengingat penyebab luka ini ditubuhnya walaupun dia berusaha sekeras apapun. Karena, ini bukan pertama kalinya hal tersebut terjadi pada diri Genta.
***
Marsha tidak tahu apa yang dilakukannya saat ini merupakan suatu hal yang benar atau tidak. Entah kenapa, walaupun cowok itu kerap kali bersikap kurang baik padanya, Marsha merasa harus mencari tahu penyebab kenapa cowok itu selalu datang ke sekolah dengan luka lebam disekujur tubuhnya.
Dan satu-satunya cara agar Marsha bisa mengetahui kebenarannya adalah dengan mengikuti kemana cowok itu pergi setelah pulang sekolah. Dan disinilah Marsha berada sekarang, disebuah taman yang ada disebuah perkomplekan didekat sekolahnya.
“Harusnya sih dia udah dateng jam segini.” Ujar Marsha sambil mengecek jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, itu tandanya sebentar lagi cowok itu pasti akan datang ke taman ini.
Bagaimana Marsha bisa tahu? Karena Marsha pernah beberapa kali melihat cowok itu masuk kedalam taman ini setiap kali ia baru pulang setelah rapat OSIS. Dan entah kenapa, sejak saat itu Marsha merasa penasaran kenapa cowok bernama Genta itu selalu datang ke taman ini.
“Nah! Itu dia orangnya!” Seru Marsha sambil menundukkan kepalanya dan bersembunyi dibalik setir mobilnya. Genta terlihat masuk kedalam taman itu sendirian, tanpa ditemani siapapun.
Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya Marsha memberanikan diri untuk masuk kedalam taman itu dengan sembunyi-sembunyi. Ia melihat Genta saat ini tengah duduk membelakanginya, disebuah bench berwarna putih yang ada didekat wahana bermain ditaman tersebut.
Karena terhalang semak-semak, Marsha tidak bisa melihat jelas apakah Genta benar-benar sendirian atau tidak. Marsha lalu melangkah lebih dekat lagi, agar dia bisa melihat cowok itu dengan lebih jelas. Namun, tiba-tiba saja, Marsha menginjak sebuah ranting kayu yang mengeluarkan suara cukup nyaring. Pada saat itu juga, Marsha langsung mengambil posisi jongkok dengan cepat dan berharap agar cowok itu tidak mendengar suara tersebut.
“Plis, plis, plis, jangan denger, plisss!” Ucap Marsha dengan suara berbisik.
Namun, keberuntungan sepertinya sedang tidak berpihak pada Marsha. Tiba-tiba saja, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Marsha langsung memejamkan kedua matanya dan masih berdoa agar suara langkah kaki itu bukan berasal dari kaki Genta.
Srekkk! Terdengar suara semak digeser.
“Marsha? Lo ngapain disini?”
Marsha lantas menelan ludahnya dengan berat hati, ia sudah tertangkap basah dan sepertinya ia tidak bisa mengelak lagi untuk sekarang.
“H—hai!” Marsha langsung beranjak dari posisinya sambil melihat kearah Genta dengan senyum lebarnya yang sangat dipaksakan.
Genta mengangkat sebelah alisnya keatas, “Jangan bilang lo ngikutin gue kesini?”
Marsha langsung mengalihkan pandangannya dari Genta, ia juga menarik kedua tangannya kebelakang. Marsha lantas mengetuk-ngetukkan sepatunya keatas tanah. “Nggak, gue emang suka kesini aja, kok!”
“Gak usah bohong, lo ngapain ngikutin gue?”
“Gue gak ngikutin lo!”
“Jawab aja, jujur.”
“Beneran kok! Lagian lo juga disini ngapain? Jangan-jangan lo lagi yang ngikutin gue!” Sahut Marsha yang masih tidak mau mengakui bahwa memang dia yang mengikuti Genta sampai kesini.
Genta lantas menghela nafasnya berat, “Udah deh, gue males debat. Terserah lo juga, ini kan tempat umum.”
“Nah, itu lo tau!” Jawab Marsha sambil mengarahkan jari telunjuknya kearah Genta. “Tapi, lo ngapain juga sendirian disini?”
“Gue gak sendirian, gue sama temen gue.”
Genta lantas memutar kepalanya dan kembali melihat kearah bench taman yang sebelumnya ia duduki itu, namun anehnya, sudah tidak ada orang lagi disana. Genta lantas mengalihkan pandangannya dan menelusuri setiap sudut taman, tapi ia tetap saja tidak bisa menemukan sosok Kemal dimana-mana.
“Mana temen lo?” Tanya Marsha yang juga ikut melihat kearah mata Genta memandang saat ini.
“Kayaknya tadi barusan balik.” Jawab Genta sambil kembali melihat kearah Marsha. “Gue juga kaget kok dia tiba-tiba gak ada.”
“Yaudah kalo gitu.” Sahut Marsha sambil menepuk tangannya satu kali. “Karena lo sendirian dan gue juga sendirian, kenapa kita gak duduk dulu aja disana?”
Marsha kemudian mengarahkan jari telunjuknya kearah bench kosong yang sebelumnya ditempati oleh Genta dan temannya itu. Saat Genta hendak membuka mulutnya, Marsha langsung menarik lengan Genta dengan cukup kuat.
“Yuk!” Seru Marsha sambil tersenyum lebar kearah Genta yang kelihatannya sudah tidak bisa lagi untuk menolak permintaanya tersebut.