Kursor berkedip di layar laptop. Di pojok kanan, username yang terpampang: Shafa Gunawan. Nama itu terlihat resmi, rapi, seolah hidup pemiliknya memang sebaik kartu nama.
Padahal begitu laptop kantor ditutup dan laptop pribadi kubuka, nama itu lenyap. Berganti Lara—nama yang lebih jujur, lebih rapuh, dan hanya dikenal lewat barisan kata.
Ribuan orang menunggu Lara. Mereka membaca karyanya, membagikan kutipannya, mengutipnya di media sosial. Tapi tidak satu pun tahu siapa orang di balik nama itu. Hanya satu orang yang pernah kuberitahu: Anya, sahabatku sejak kuliah.
Bagi dunia, aku Shafa—perempuan tiga puluh lima tahun dengan hidup yang terlihat mapan. Pekerjaan jelas, masa depan aman. Semua percaya aku baik-baik saja. Dan aku membiarkan mereka terus percaya.
Padahal setiap kali menulis, aku tahu aku sedang membuka luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh. Nama Lara adalah tameng. Cara paling aman untuk tetap bertahan.
Aku bersandar di kursi, menatap jendela. Lampu kota berkerlap-kerlip di kejauhan, samar dipantulkan kaca. Jakarta terlihat tenang dari sini. Terlalu tenang, kadang. Tapi aku tidak keberatan. Kesepian punya cara aneh untuk terasa aman.
Kini aku tinggal di apartemen milik Anya. Bukan karena tak mampu menyewa sendiri, tapi karena Anya lebih sering bepergian ke luar negeri bersama dengan suaminya. Katanya, daripada kosong, lebih baik kutempati. Dan aku mengiyakan—diam-diam bersyukur karena tempat ini memberiku ruang untuk menulis, dan ruang untuk menyendiri.
Ponsel di meja berdering. Nama Mama muncul di layar. Aku sempat menarik napas sebelum mengangkatnya.
“Assalamualaikum, Ma.”
“Waalaikumsalam. Shafa, apa kabar, Nak?” Suaranya lembut, ada sedikit nada khawatir yang hampir selalu hadir.
“Alhamdulillah, baik. Mama sendiri gimana?”
“Sehat. Lagi di rumah aja.” Ada jeda sebentar. “Kamu udah makan?”
“Udah, Ma. Tadi masak nasi goreng.”
Bohong kecil. Sebenarnya aku cuma pesan camilan online.
“Ya baguslah. Jangan sering begadang, ya. Mama takut kamu sakit.”
Aku tersenyum tipis, meski ia tak bisa melihat. “Iya, Ma. Insya Allah.”
Kami mengobrol sebentar, topiknya ringan. Cuaca, tetangga, hal-hal kecil yang tak pernah terlalu dalam. Lalu telepon ditutup.
Aku menatap layar ponsel yang meredup. Kata-kata Mama masih terngiang: jangan sering begadang.
Seandainya ia tahu, aku begadang bukan karena kerja. Aku memang sulit tidur. Begitu mata terpejam, masa lalu selalu datang tanpa diundang.
Malam itu pun sama.
Aku terbaring, mencoba tidur, tapi justru terjebak di mimpi yang sudah terlalu sering kembali.
Hujan. Langkah kaki terburu-buru. Nafasku terengah. Dan dia muncul—cinta pertama yang dulu kukenal begitu baik.
Wajahnya sempat hangat, lalu tiba-tiba berubah dingin. Kata-katanya pecah-pecah, nadanya tinggi.
“Aku muak, Shafa… Aku capek.”
Lalu punggungnya berbalik, menjauh. Tanpa menoleh. Tanpa pamit.
Aku berusaha mengejar, tapi tubuhku terpaku. Suaraku hilang. Dan seketika semuanya gelap.
Aku terbangun dengan napas memburu. Keringat dingin membasahi leher. Kamar remang, sunyi. Aku meraih remote, menyalakan televisi. Bukan untuk ditonton, hanya untuk mengisi hening.
Malam itu, lagi-lagi aku gagal tidur.
~
Pagi datang begitu saja. Matahari menyelinap lewat celah tirai, tapi tubuhku masih berat. Aku menyeret diri ke dapur, membuat kopi hitam, lalu duduk lagi di depan laptop.
Di layar, kalimat terakhir semalam menunggu dilanjutkan. Tokoh utamaku seorang perempuan yang perlahan menemukan kebahagiaan setelah bertahun-tahun hidup dalam bayangan cinta pertamanya.