Aroma bawang putih dan mentega tumis menyebar sejak pagi, bikin perutku ikut berontak.
Aku duduk di sofa dengan buku terbuka, tapi mataku lebih sering melirik ke dapur. Anya sibuk dengan wajan, rambut digelung asal, piyama kebesaran, mulutnya bersenandung kecil. Tangannya cekatan membalik telur dadar sambil goyang bahu mengikuti nada.
“Fa, kamu sadar nggak? Tiap kali aku masak telur, aku selalu inget kamu,” katanya tiba-tiba.
Aku menutup buku, pura-pura malas. “Harusnya kamu inget sarapan, bukan aku.”
Anya menoleh, senyumnya usil. “Ya gimana. Dulu kamu kan rajin banget bikinin telur pas kita ngekos. Aku tinggal makan.”
Aku ikut tersenyum kecil. Hangat rasanya, meski kenangan itu sudah jauh.
Dia akhirnya duduk di sampingku, membawa dua piring sarapan. Menaruhnya di meja, lalu menatapku sambil mengangkat alis.
“Fa, minggu depan jangan kabur ya. Kamu tahu maksudku.”
Aku menarik napas, mengunyah pelan. “Aku dateng. Tapi jangan harap aku langsung bisa buka hati.”
Anya tersenyum miring, jelas sudah menduga. “Nggak ada yang nyuruh kamu buka hati. Dateng aja dulu. Sisanya, biar waktu yang kerja.”
Aku tidak menjawab lagi. Hanya melirik pinggiran telur yang renyah—bagian favoritku. Seperti biasa, Anya sengaja menyisakan lebih banyak untukku.
Setelah sarapan, Anya menumpuk piring ke dapur. “Hari ini kita shopping. Jangan nolak.”
Aku mendesah. “Ny, bajuku masih cukup. Lagian isinya kan standar: kemeja putih, sweater abu-abu, celana hitam. Beres buat kerja, beres buat jalan.”
Anya melongok dari balik pintu dapur, matanya menyipit. “Persis! Itu dia masalahnya. Kamu kayak katalog minimalis edisi terbatas. Rapi, tapi membosankan.”
Aku terkekeh. “Minimalis itu gaya hidup, tahu.”
Dia mengangkat alis. “Minimalis boleh, tapi kalau hoodie abu-abu kamu sampai bisa jalan sendiri ke mall, itu namanya darurat fashion.”
Aku pura-pura serius. “Dia hoodie setia. Nggak rewel. Selalu ada kalau aku butuh.”
Anya menepuk dahinya dramatis. “Fa, please… setia itu pasangan, bukan hoodie!”
Di mall, aku tetap memilih blouse putih longgar dan celana bahan hitam. Aman. Sementara Anya mondar-mandir keluar masuk butik, menyodorkan dress warna pastel, kemeja bermotif, bahkan rok yang jelas-jelas bukan aku.
“Coba ini deh. Sekali-sekali jangan abu-abu atau hitam,” katanya sambil menyodorkan blouse biru muda.
Aku menatapnya datar. “Aku kayak staf magang kalau pakai ini.”
“Magang aja bisa nemu jodoh, Fa. Masa kamu enggak?”
Aku mendengus, tapi akhirnya tetap coba. Anya heboh memuji tiap kali aku keluar dari ruang ganti, sementara aku cuma mengangkat bahu. Pada akhirnya aku tetap membeli blouse putih lain—hanya beda potongan dari yang biasa kupunya.
Anya memutar mata. “Ya ampun, Fa. Orang lain kalau shopping itu biar lemari makin berwarna. Kamu mah biar ada stok cadangan.”
Aku hanya nyengir. “Lemari aku nyaman kok. Nggak ada yang protes.”