Senin pagi selalu punya energi berbeda. Jalanan kota dipenuhi orang-orang yang buru-buru, trotoar ramai oleh pekerja dengan wajah setengah mengantuk, dan gedung-gedung tinggi di kawasan bisnis seolah menyambut datangnya minggu baru dengan lampu-lampu yang menyala penuh.
Di lantai 18 kantorku, suasana masih tenang. Beberapa staf baru saja menyalakan komputer, sementara aroma kopi dari pantry pelan-pelan memenuhi udara. Aku melangkah masuk dengan blouse biru muda—ya, blouse yang kemarin kupilih di butik dengan setengah hati tapi dipaksa Anya untuk beli. Kupadukan dengan celana bahan hitam dan sepatu hak rendah. Sederhana, tapi cukup membuatku terlihat segar dibanding biasanya.
“Pagi, Mbak Shafa.” Seorang staf, Leo, menyapaku sambil memeluk laptop.
“Pagi, Leo. Cek email koordinasi dari Jumat. Kalau ada yang belum dibalas, follow up hari ini,” ucapku tenang sambil berjalan ke ruanganku.
Ruanganku tidak besar, tapi cukup untuk bekerja dengan nyaman. Satu sisi dipenuhi rak dokumen dan beberapa buku referensi teknis. Sisanya minimalis, hanya meja kerja dengan laptop kantor, notes kulit, dan mug kopi hitam yang barusan kubawa dari pantry.
Aku duduk, membuka laptop, lalu mulai membuat daftar prioritas mingguan. Seperti biasa, Senin adalah hari untuk menyusun napas divisi.
Senin: Mapping tugas mingguan, koordinasi lintas divisi, monitoring workload.
Selasa–Rabu: Review dokumen proyek A, revisi modul proyek B.
Kamis: QA, konsolidasi catatan standar.
Jumat: Wrap-up, mentoring untuk dua junior.
Satu per satu email masuk. Aku membacanya cepat tapi teliti. Permintaan dari produk, QA, developer—semua menumpuk di inbox. Tim lain sudah hafal alurnya: isi template, kirim ke email resmi Tech Doc, lalu kami yang tangani.
Beberapa menit kemudian, sebuah email dari divisi DevOps menarik perhatian. Topiknya sensitif, deadline mepet. Aku langsung balas singkat, lalu forward ke anggota tim yang bisa dipercaya pegang kasus seperti ini.
Tak lama, suara ketukan pelan terdengar di pintu. Rani, junior writer, berdiri sambil membawa map tipis.
“Mbak, aku mau koordinasi soal dokumen integrasi API. Feedback dari tim Dev belum masuk, padahal deadline Kamis,” katanya.
Aku mengangguk, menutup layar sebentar. “Follow up Dev hari ini. Kalau nggak ada respon, cc aku. Biar aku dorong langsung. Sementara itu, kerjakan dulu bagian yang sudah clear. Jangan tunggu semua sempurna.”
Wajahnya lega. “Siap, Mbak. Terima kasih.”
Begitulah. Aku tidak pernah merasa perlu bicara keras. Suara lembut, instruksi jelas, dan ketegasan yang terasa dari cara duduk, cara menatap, itu sudah cukup. Aura “jangan main-main” tidak butuh volume.
Jam menunjuk pukul sebelas. Aku mengumpulkan semua email permintaan pagi ini, lalu membaginya ke tiga kelompok: urgent, mid-week, mentoring. Dengan satu klik, aku kirimkan pembagian ke grup WA tim.
📩 Subject: Weekly Task Distribution – Week 27
Hi Team,
Berikut distribusi pekerjaan minggu ini. Review masing-masing, update progress di Trello seperti biasa. Kalau ada kendala, sampaikan di grup atau langsung ke saya via email.
Let’s make this week efficient and clean.
– Shafa Gunawan
Email terkirim. Aku bersandar sebentar, meneguk kopi yang mulai dingin. Dari luar, aku terlihat sepenuhnya Shafa: leader yang tenang, profesional, menguasai ritme kerja. Tidak ada Lara di sini.
Ponsel di meja bergetar. Sebuah pesan dari General Manager.
“Shafa, join meeting jam 3. Ada briefing awal project kerja sama klien baru. Semua leader divisi wajib hadir.”