Hari-hari kerja selalu berjalan seperti pola yang sudah dihafal oleh tubuh. Bangun pagi, menyiapkan diri, tenggelam dalam rapat, lalu pulang malam dengan kepala penuh daftar yang belum selesai. Begitu juga minggu ini. Lima hari terasa panjang, meski sebenarnya tidak jauh berbeda dari minggu-minggu sebelumnya.
Hanya ada satu hal yang membuat minggu ini berbeda. Janji pada Anya.
Sabtu akhirnya tiba. Udara pagi terasa lebih ringan dari biasanya. Aku berdiri di depan lemari, menarik keluar hoodie abu-abu yang sudah terlalu sering menemaniku. Nyaman, sederhana, dan aku tidak perlu berpura-pura dengan pakaian ini. Celana hitam dan sneakers jadi pelengkapnya. Rambut hanya kuikat rendah, kacamata hitam kugunakan menggantikan softlens. Hari ini aku ingin tampil apa adanya.
Jalanan menuju kafe favorit kami tidak terlalu ramai. Begitu pintu terbuka, aroma kopi hangat langsung menyergap. Langkahku sempat berhenti ketika melihat seseorang sudah duduk di meja pojok—tempat biasanya aku dan Anya berbagi cerita panjang.
Dia.
Sejenak aku ingin berbalik, pura-pura salah tempat. Tapi bayangan wajah Anya muncul, dengan senyum memaksa yang tak bisa kutolak. Jadi aku menarik napas, melangkah maju.
“Permisi,” ucapku datar.
Pria itu berdiri, tersenyum kecil, lalu menarik kursi di hadapannya. “Shafa, ya? Silakan duduk.”
Aku menaruh tas di kursi sebelah, duduk dengan tubuh tegak tapi canggung. Kemeja putihnya digulung sampai siku, rapi tanpa terlihat kaku. Senyumnya tidak berlebihan—sekadar sepercik hangat yang entah kenapa terasa aman.
“Reinald,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Panggil saja Rei.”
Aku menatap tangannya sebentar sebelum menyambutnya. “Shafa.”
Cengkeramannya mantap, lalu ia melepaskan dengan cepat. Tidak ada tatapan menekan. Tidak ada basa-basi yang memaksa.
Kami memesan. Dia kopi hitam tanpa gula, aku caramel macchiato dengan ekstra gula. Kontras, tapi entah kenapa justru terasa lucu.
Beberapa menit pertama dipenuhi obrolan ringan. Tentang kafe ini yang selalu penuh meski tempatnya kecil. Tentang cuaca yang belakangan sulit ditebak. Tentang akhir pekan di kota yang sering lebih padat daripada hari kerja. Aku menjawab seperlunya, menjaga jarak.
Rei tampak tidak keberatan. Ia menyesap kopinya pelan, sesekali tersenyum singkat. Gerakannya sederhana, tapi ada ketenangan yang membuatku tidak merasa terintimidasi.
Sampai tiba-tiba, ia berkata, “Waktu itu, di toko buku… saya melihat Anda membaca. Novel fantasi bersampul biru, kan?”
Aku menoleh cepat. Tidak menyangka dia memperhatikan sampai detail. “Iya. Kenapa?”
“Saya penasaran,” ujarnya, matanya menatap serius tapi tidak menusuk. “Apa yang membuat Anda suka fantasi?”
Pertanyaan itu sederhana, tapi entah kenapa membuatku ingin menjawab lebih panjang. “Karena dunia di dalamnya jauh lebih indah. Kita bebas berimajinasi, seolah bisa punya tempat lain untuk bernafas. Kadang… rasanya lebih nyata daripada kenyataan.”
Rei mengangguk pelan, mendengarkan penuh perhatian. “Saya bisa membayangkan itu. Dunia yang memberi ruang, tanpa syarat.”