Shafa and Love

Nursan
Chapter #5

Retakan

Langkahku meninggalkan kafe malam itu terasa ringan sekaligus berat. Ringan karena percakapan kami cukup nyaman, berat karena satu kalimat sederhana masih bergema di kepalaku. “Saya rasa kamu orang yang hanya terlihat kuat.”

Setiap kali aku mengingatnya, ada rasa lega, karena untuk pertama kali ada yang bisa membaca retakanku dengan jujur. Tapi juga ada rasa khawatir, karena itu berarti tembok yang kubangun rapat ternyata tidak sekuat yang kukira.

Di apartemen, aku menyalakan lampu, lalu langsung masuk kamar mandi. Air hangat menyapu wajah, tubuh, dan sedikit demi sedikit membawa kembali tenang. Aku mengganti hoodie dengan piyama, lalu rebah di kasur. Malam ini, aku memutuskan untuk menyerah pada tidur, dibantu setengah butir obat kecil tentunya, agar lebih nyenyak.

~

Pagi datang tanpa mimpi buruk. Aku membuka mata dengan kepala lebih segar. Setelah sarapan sederhana dan olahraga ringan di ruang tamu, aku merasa cukup berenergi untuk memulai hari.

Selesai mandi, aku duduk di meja kerja kecil, membuka laptop pribadiku. Inbox menampilkan email baru dari editorku. Revisi. Tidak banyak, tapi butuh fokus. Aku menyalakan musik instrumental pelan, lalu tenggelam dalam kata-kata.

Belum lama mengetik, ponselku bergetar. Nama Anya muncul. Aku langsung tahu apa yang akan terjadi.

“Assalamualaikum, Beb!” suaranya langsung riang, padahal baru jam delapan pagi.

“Waalaikumsalam. Tumben banget pagi-pagi udah nelpon,” jawabku sambil tersenyum miring.

“Aku nggak bisa tidur nyenyak semalam. Kepikiran kamu. Jadi… gimana? Ketemu Rei? Cerita, cepat!”

Aku menghela napas. “Ny, kamu kayak wartawan gosip. Baru juga sehari.”

“Justru itu! Aku penasaran. Gimana orangnya? Nyambung nggak? Kamu nyaman nggak?”

Aku diam sebentar. Lalu menjawab pelan, “Nyaman. Tenang, malah. Kami ngobrol banyak, dan… ya, dan nanti sore aku janjian lagi sama dia. Jalan sore di taman dekat apartemen.”

Terdengar pekikan kecil dari seberang sana. “Yes! Akhirnya sahabatku ini mau juga buka pintu sedikit. Aku bangga, Fa. Sumpah.”

Aku terkekeh. “Belum buka pintu. Baru ngintip dari jendela.”

“Ngintip aja udah prestasi. Aku doakan lancar. Jangan kabur, ya. Please.”

Aku tertawa. “Iya, Ny. Tenang aja.”

Obrolan berakhir dengan tawa dan doa khas Anya. Panggilan ditutup, meninggalkan hangat yang sederhana. Aku kembali tenggelam dalam revisi sampai waktu berlari begitu cepat.

Tiba-tiba matahari sudah condong ke barat. Aku menutup laptop, merapikan meja, lalu bersiap. Hoodie abu-abu setia kupakai lagi, sneakers menyusul. Sebuah buku fantasi tentang vampir kuselipkan ke tas—jaga-jaga kalau percakapan sore nanti kehilangan arah.

~

Taman sore itu ramai oleh orang jogging, pasangan muda, dan anak-anak kecil bersepeda. Aku menemukan Rei duduk di bangku dekat gerbang, menungguku.

Lihat selengkapnya