“Bhaskara.”
Nama itu keluar begitu saja dari bibirku. Satu nama yang dulu pernah jadi tempatku berlindung, sekaligus luka paling dalam yang masih membekas sampai sekarang.
Meski rumahku penuh bentakan dan keributan, di sekolah aku bukanlah Shafa yang rapuh. Aku bisa tertawa, bercanda, ikut lomba, bahkan cukup populer. Semua orang mengenalku sebagai gadis ceria, pintar, dan selalu rapi. Seolah luka di rumah tak pernah ada.
Di sekolah itu juga ada Bhaskara. Dari awal masuk kelas satu, namanya langsung menonjol. Wajahnya menawan, tinggi, dan selalu jadi pusat perhatian. Pintar pula, atletis, dan punya sikap percaya diri yang membuatnya sulit diabaikan.
Kami berada di kelas berbeda, tapi gosip sekolah sudah lama menaruh nama kami dalam satu kalimat: Shafa si primadona kelas A, Bhaskara si bintang kelas B. Dua dunia yang sejajar tapi belum pernah benar-benar bersinggungan.
Sampai satu kejadian kecil mengubah segalanya.
Hari itu, di lorong belakang, aku melihat beberapa siswa membully seorang anak kelas satu yang lebih pendiam. Aku sudah berniat menolong, tapi sebelum aku sempat melangkah, Bhaskara juga muncul. Kami berdua akhirnya berdiri di depan anak itu, sama-sama melawan para pembully.
“Cukup,” ucapku tegas.
“Kalau mau cari masalah, cari yang seimbang,” sambung Bhaskara dengan tatapan tajam.
Mereka bubar dengan wajah masam, meninggalkan kami bertiga. Anak itu menangis pelan, lalu buru-buru kabur. Tersisa hanya aku dan Bhaskara, berdiri berseberangan.
Aku ingat jelas dia tersenyum kecil waktu itu. “Ternyata kamu nggak cuma pintar ngomong di kelas, ya.”
Aku mendengus, pura-pura kesal. “Dan ternyata kamu nggak cuma jago main basket.”
Itu pertama kalinya kami bicara. Sederhana, tapi dari situ, dunia kami mulai saling bersinggungan.
Naik ke kelas dua, kami makin sering bersama. Aku terpilih jadi ketua OSIS, sementara Bhaskara jadi ketua tim basket. Dua posisi yang membuat kami sering muncul di acara sekolah, sering rapat bareng, dan tanpa sadar… makin dekat.
Kami mulai pulang bersama setelah rapat OSIS. Saling mengirim pesan malam-malam tentang tugas atau sekadar bercanda. Dari yang awalnya formal, lama-lama jadi ringan, penuh tawa.
Sampai akhirnya, kami resmi berpacaran.
Aku, ketua OSIS yang selalu terlihat tegas dan ceria. Dia, kapten basket yang jadi idola banyak siswi. Kami jadi pasangan prime di sekolah. Orang-orang menyebut kami “pasangan emas SMA Nusantara”. Ada decak kagum setiap kami lewat bersama, ada bisik-bisik iri yang tak bisa dihindari.
Tapi semua itu tidak pernah terlalu kupikirkan. Yang penting, aku bahagia.
Hari-hari setelah itu penuh momen kecil yang tak pernah kulupa. Seusai jam pelajaran, Bhaskara sering menungguku di depan ruang OSIS sambil membawa sebotol teh dingin. “Biar kamu nggak pingsan rapat mulu,” katanya sambil nyengir.
Kadang, saat latihan basket selesai, dia akan berlari kecil ke arah tribun hanya untuk menyapaku. Peluh masih menetes, napasnya terengah, tapi matanya selalu berbinar. Aku pura-pura kesal. “Kamu bau keringat, Bhas.” Dia tertawa, lalu dengan enteng menjawab, “Biar kamu inget aku seharian.”
Pulang sekolah, kami sering berjalan berdampingan sambil berebut bayangan matahari di trotoar. Kalau aku melangkah terlalu jauh dari sisi teduh, dia akan menarik pelan lenganku. “Nanti kulit kamu gosong,” ucapnya, setengah bercanda, setengah sungguh-sungguh.
Sabtu sore, kalau tidak ada rapat atau latihan, kami suka duduk di perpustakaan. Aku dengan buku novel, dia dengan catatan strategi basket atau kadang pura-pura membaca buku sejarah. Diam-diam, aku tahu dia hanya ingin duduk lama di sebelahku. Sesekali ia akan menulis sesuatu di kertas, lalu menyelipkannya ke bukuku. Kalimat sederhana: ‘jangan lupa makan siang’ atau ‘semangat ketua OSIS kesayangan’.
Ulang tahunku di kelas dua adalah momen spesial. Dia memberiku sebuah pena hitam sederhana, tapi di sisinya terukir kecil: “B ♡ S.” Hadiah itu bukan sekadar benda, melainkan janji diam-diam di antara kami. Aku menyimpannya dengan hati-hati, dan bertahun-tahun kemudian, pena itu masih jadi satu-satunya barang dari Bhaskara yang tidak pernah bisa kubuang.
Di balik semua itu, Bhaskara selalu tahu cara membuatku merasa istimewa tanpa perlu kata-kata besar. Ia hadir di momen kecil, membawakan jas hujan saat hujan deras, membelikan roti bakar kesukaanku di kantin, atau sekadar menemaniku diam di tribun saat aku lelah.