Shagara

Dita
Chapter #3

3. Siapa Dia?

"Dalam kimia ada alkana, alkena, dan alkuna. Lalu dalam hatimu, kapan ada akunya?"

***

Pagi ini, Letta bangun terlambat. Dia sangat menyesal mengapa semalam dia terlihat rapuh lagi. Yang akhirnya berujung susah untuk memejamkan matanya. Sekarang yang perlu dilakukannya adalah bergerak dengan cepat agar dia tak benar-benar terlambat.

Letta bangun pukul 6.15 dan dengan gerakan super cepat, akhirnya dia bisa selesai berkemas pukul 06.43. Secara tak langsung artinya pagi ini dia akan telat. Baru saja Letta ingin membuka pintu kulkas namun tangannya sudah ditarik lagi oleh sang Mama. Helaan napas panjang Letta terdengar miris sekali.

"Uwow tuan putri hidupnya sejuk banget. Bangun siang langsung makan. Nggak mau masak tapi mau makan. Duh enaknya jadi tuan putri ini." sindiran itu keluar dengan nada menjengkelkan. Namun apa boleh buat, dia hanya bisa diam. Menjawab pun tak ada gunanya, justru menjawab hanya akan membuatnya semakin terlambat ke sekolah.

"Maaf Ma." kata Letta. Tangannya terarah mengambil tangan kanan Mamanya bermaksud untuk mencium punggung tangan wanita paruh baya itu sebelum berangkat ke sekolah. Namun sayang, dia tak diijinkan melakukannya. Yang hanya bisa Letta lakukan sekarang adalah berangkat sekolah dengan mengucapkan salam.

Letta berjalan meninggalkan Mamanya menuju ke arah pintu. Namun saat mencapai depan pintu, Letta diam selama beberapa saat. Matanya membulat dengan sempurna, saat melihat motor matic yang biasa dinaikinya mendadak ban nya kempes. Lagi-lagi peristiwa ini terjadi. Ingin rasanya dia menangis kencang. Mama dan Kakak tirinya memang terkadang kelewat menyebalkan!

Letta hampir menitikkan air mata.

Tapi, itu tidak boleh!

Dia harus kuat. Jarak dari sini ke sekolah 5 km. Dan sepertinya pagi ini Letta akan berolahraga seperti hari-hari sebelumnya. Semangat berkobar dalam hatinya. Dia bisa melakukannya.

"Ayo Letta, semangat 86!" kuatnya.

Letta menarik nafasnya yang panjang lalu mengambil ancang-ancang untuk berlari. Meneguk ludah, Letta khawatir jika dia mendadak pingsan karena belum sarapan. Tapi itu urusan belakangan. Dan sekarang yang harus dilakukannya adalah berlari secepat yang dia bisa.

Satu

Dua

Tiga!

***

Hari Sabtu. Setelah acara ulang tahun SMA Indora kemarin, seluruh pelajaran hari ini dikosongkan. Semua murid sibuk membersihkan halaman yang lebih mirip tempat pembuangan sampah.

Gara sendiri hanya duduk di bawah pepohonan sambil memainkan game yang akhir-akhir ini sering dimainkannya. Apalagi kalau bukan Free Fire. Game yang ramai digemari para remaja saat ini. Sebenarnya Gara tak terlalu pandai memainkannya. Sebab, dia menginstal Game ini pun atas saran dari Dito.

Jam masih menunjukkan pukul 9 pagi tapi suasananya kelewat ramai. Yang membuat Gara hanya bisa merutuk para pembuat gaduh itu. Gara mengalihkan sedikit pandangannya menatap sepasang sepatu yang berjalan mendekat ke arahnya. Langkahnya sedikit ragu dan hal itu sukses membuat Gara merasa sedikit heran.

Tadinya dia pikir itu Dito. Namun dilihat dari warna sepatunya jelas itu bukan Dito. Mana mungkin cowok bar-bar macam Dito menggunakan sepatu berwarna hijau menyala seperti itu.

"Kak?" panggil si pemilik sepatu itu. Gara mendongak menatapnya. Ah ternyata tebakannya benar, gadis yang kemarin lagi. Gadis yang dari tatapan matanya saja menyiratkan bahwa dia gadis polos.

"Hm." jawab Gara pelan yang lebih mirip seperti dia sedang menggumamkan sesuatu. Gadis di depan Gara yang tak lain adalah Tania itu menyodorkan kotak bekal ke arah Gara.

Gara garuk-garuk kepala. Dia bingung harus menerima kotak bekal itu atau tidak. Dia sebenarnya merasa sedikit aneh. Disaat cewek lain memberinya coklat justru Tania membawa kotak bekalnya, ya walau lebih enak makan nasi daripada coklat.

"Aku masak sendiri lagi loh Kak. Ini khusus buat Kak Gara hehe." Senyuman tulus milik Tania membuat Gara menjadi enggan bila dia tak meneriman bekal itu. Jika Tania benar-benar membuatnya sendiri itu artinya dia harus bangun pagi-pagi sama seperti Mamanya bukan?

"Makasih Kak. Kotaknya nggak usah dibalikin nggak papa. Aku punya banyak soalnya. Yaudah kalau gitu aku pergi dulu ya. Dadah Kak Gara ganteng." lambaian tangan Tania semakin lama semakin tak terlihat. Diam-diam Gara tersenyum.

"Dadah Kak Gara ganteng?" ucap Gara sambil meniru nada Tania.

Lalu dia memikirkan perkataan Mamanya. Dia tak boleh jajan sembarangan. Dengan mendapat bekal ini dia tak mungkinkan jajan sembarangan.

Wushh.

Sebuah sepatu berwarna hitam abu-abu itu melayang tepat di depan muka Gara. Untung saja tadi Gara sempat mundur. Jika tidak wajahnya benar-benar akan lecet.

"Eh sorry Gar. Sengaja tadi gue. Nggak kena ya? Mau gue lemparin lagi nggak?" Jelas siapa lagi yang berani melakukan hal itu selain Dito. Cowok itu duduk di samping Gara sambil menikmati semangkuk cimol yang entah dia dapat darimana. Parahnya lagi mangkuk cimol itu ukurannya dua kali lipat dari biasanya.

Gara hanya diam dan tak menjawab pertanyaan Dito tadi.

Lihat selengkapnya