"Hati nggak akan pernah bisa berbohong. Meski suatu saat kau mengelaknya."
****
Letta tersenyum sendiri. Jam pelajaran sudah selesai beberapa waktu tadi. Kelas 12 Ipa 4 kini sudah hampir sepi.
"Kesambet tu anak kayaknya." ujar seseorang dari belakang Letta membuat gadis senyum gadis itu luntur seketika. Wajahnya berubah datar.
Memangnya salah kalau dia tersenyum karena bahagia?
Sepertinya tidak. Karena hal itulah Letta tersenyum lagi, tak perduli dengan apa tanggapan mereka. Dia benar-benar merasa bahagia saat ini. Letta sangat-sangat bahagia.
Rasanya seperti dalam mimpi saja. Saat ini, beberapa jam lalu, dia resmi. Dirinya resmi menjadi pacar Gara.
Cewek mana yang tak bahagia saat cinta diam-diamnya terbalaskan?
Letta menangkup pipinya yang memanas. Kacamatanya bahkan hampir melorot. Mendadak jantung Letta berdetak lebih cepat lagi. Aaa!! Jika begini terus apa dia tidak mati?
"Tuh anak itu kesambet lagi."
"Itu mah bukan kesambet lagi."
"Lah?"
"Udah sampai dalam tahap gila hahaha."
"Eh anjir bener hahahaha."
Letta menoleh, menatap teman sekelasnya yang tersenyum sinis padanya. Tadi Letta pikir mereka sudah pada pulang. Tanpa banyak kata Letta memakai tas punggungnya lalu mendekap erat buku pelajarannya.
Letta menatap kembali dua orang yang mengatainya gila tadi. Kalau dilihat lagi sebenarnya mereka yang gila. Mana ada anak SMA yang sekolah tapi menggunakan make up seperti tante-tante?
Atau Letta perlu mengambil kaca untuk menyadarkan mereka?
Letta menggelengkan kepalanya lantas bersiap melangkahkan kakinya kearah pintu untuk pulang. Namun langkahnya terhenti saat sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanannya.
PLAK!
"Oh astaga! Ya ampun tangan, jangan jahat-jahat dong." ujar si penampar sambil menampilkan ekspresi terkejutnya. Ditambah dengan menutupi mulutnya. Dasar ratu drama.
Jangan tanyakan lagi siapa pelakunya. Siapa lagi orangnya jika bukan Kakak tiri tercinta, Rere.
"Duh Rere, tangan kamu nakal." Timpal salah satu teman Rere yang entah siapa. Karena, Letta tak melihat jelas. Pipinya masih panas. Tamparan Rere bukan main memang.
"Kak Rere kenapa nampar aku?" Tanya Letta pelan. Bahkan mungkin nyaris tak terdengar.
"Kenapa? Hm gaes, gue nampar dia kenapa yah?" tanya Rere pada tiga sahabatnya. Seketika tiga sabahat Rere yang terlihat seperti pesuruhnya itu tampak berpikir.
"Ah mungkin karena dia bitch." celetuk sahabat Rere, sontak mereka tertawa terbahak-bahak. Letta diam mengamati, tanpa sadar setetes air matanya jatuh.
"Eh pulang yuk guys, nanti tangan gue silaturahminya dirumah aja." Setelah mengatakan itu, Rere dan para pesuruhnya itu pergi. Meninggalkan Letta yang terduduk lemas di lantai, bukunya bahkan sudah berserakan di lantai.
"Kenapa rasanya perih?" tanyanya entah pada siapa. Perih, rasanya perih. Bukan pipinya, tapi hatinya.
Letta mendongak lalu melepas kacamatanya. Dengan gerakan pelan dia ingin mengusap air matanya. Tapi tak disangka, ada tangan lain yang mengusap air matanya.
"Jadi cewek nggak usah lemah-lemah." kata cowok yang tangan kanannya masih mengusap air mata Letta. Letta menatap cowok itu, menjatuhkan diri dalam perangkap bola mata yang indah nan jernih itu.
"Gggaa-Ggara?" panggil Letta terbata. Dia terkejut, terlampau terkejut hingga tak tau harus berkata seperti apa.
"Hm."
"Ngapain kamu kesini?" tanya Letta sambil menggigit bibir bawahnya. Ada yang meletup-letup didalam sana, denfan taburan bunga-bunga juga.
Namun, Gara diam. Dia tak menjawab pertanyaan Letta. Setelah selesai membersihkan pipi Letta yang tadinya basah Gara beranjak meninggalkan Letta.
"Tunggu!" teriak Letta saat Gara sudah sampai didepan pintu kelasnya.
Gara menghentikan langkahnya. Dia membalikann badan, menatap kearah Letta yang baru saja berdiri.
"Kenapa Gara bantuin aku?" tanya Letta. Dia masih berdiri ditempatnya sambil berusaha menahan jantungnya yang serasa lari maraton itu.