"Suatu hari nanti, aku akan menggenggam tanganmu dengan erat, memelukmu hingga kau tak lagi kedinginan, dan menghapus setiap air matamu."
***
Bagi siswa Indora, pelajaran yang paling rumit untuk dipahami adalah Seni Budaya. Apalagi kalau gurunya selalu menuntut untuk siswa paham akan yang diajarkan. Jangankan paham, memperhatikan saja tidak. Guru Seni Budaya di SMA Indora memang tidak sekiller guru Biologi seperti Pak Lilik ataupun seketus seperti Pak Onk Guru Fisika. Bagi siswa yang menyukai pelajaran seni, pasti akan sangat mudah udah memahami. Namun, kebanyakan siswa juga tidak terlalu menyukai pelajaran Seni Budaya.
Hari ini adalah jam pelajaran seni budaya di kelas Gara. Namanya Pak Trisno Wibowo. Guru Seni Budaya yang paling handal di bidang otak-atik corel se SMA Indora. Pukul 07.00 pagi tadi, Pak Trisno sudah siap memberikan materi di kelas 12 Ipa 1 tentang perspektif denah pameran.
Gara mendengus kesal ketika teman sebangkunya yang super rempong itu tidak berhentinya mengoceh sedari tadi. Harusnya yang banyak bicara itu adalah perempuan. Namun, sepertinya memang di era 2020 ini laki-laki sangat banyak bicara. Tapi, khusus Gara adalah pengecualian.
Dito tak hentinya menyenggol lengan Gara agar cowok itu mau mendengarkan ceritanya. Benteng pertahanan Gara untuk fokus pelajaran Pak Trisno pun buyar akibat Dito yang tak hentinya mengganggu dirinya.
"Lo bisa diem nggak sih?" sarkas Gara dengan mata tajamnya.
"Gar, gue mau nanya." ucap Dito dengan pura-pura fokus ke layar proyektor di depannya.
"Paan?" sahut Gara malas.
"Bosen nggak sih lo dari kelas 10 diajar Pak Trisno? Kalo gue sih bosen banget. Apalagi tuh ya, tugasnya Pak Tris ngeluarin banyak duit. Ibaratnya ya kayak peribahasa besar pasak daripada tiang." beo Dito panjang lebar.
"Lo ngeluarin duit banyak gara-gara lo salah ngerjain tugas." jawab Gara santai.
"Ya mana gue faham sama tugasnya. Orang Pak Tris kalau ngajar cuma srett, srett, srettt gue mana faham sih Gar. Lagian srett, srett, srett tuh bahasa apaan sih?" tanya Dito serius.
"Bahasa alien maybe. Coba lo tanya Keynan atau Reno siapa tahu mereka paham." ucap Gara yang berusaha fokus kembali ke layar proyektor.
Dito yang mendengar jawaban Gara, seketika langsung membalikkan tubuhnya ke belakang menghadap Keynan dan Reno. Mereka itu geng absurd tentu saja tempat duduknya depan belakang.
"Dit lo jangan nengok ke belakang deh, ntar kalau Pak Tris tahu lo bisa dilempar pake spidol." ujar Keynan mengingatkan.
"Nggak bakal. Gue cuma mau nanya sama kalian berdua."
"Nanya apaan sih? Emang harus sekarang?" tanya Reno agak marah.
"Kalian ngerti nggak arti bahasanya Pak Tris yang sret sret sret?" Dito memang wajib ditulis manusia paling kepo.
Belum sempat Keynan dan Reno menjawab, sebuah spidol melayang ke arah Dito dan mengenai dahinya.
Sepagi ini saja Dito sudah mendapat kesialan dari Pak Trisno.
"Kamu yang sebelah sana, saya perhatikan kok ngobrol saja." tunjuk Pak Trisno ke arah Dito.
Dito meneguk ludahnya.
"Maaf Pak." ujar Dito sopan meminta maaf.
"Lain kali di jam pelajaran saya jangan banyak omong." ingat Pak Trisno.
Dito mengiyakan perintah dari guru seni budaya ribet itu.
4 jam pelajaran seni budaya di kelas 12 Ipa 1 akhirnya pun selesai. Rasanya 4 jam benar-benar waktu yang sangat lama jika dibanding dengan pelajaran lainnya. Tapi bagi Gara, pelajaran apapun tetap terasa cepat dan menyenangkan. Apa yang dirasakan Gara sama dengan yang kalian semua rasakan?
***
Letta menatap sedih luka yang ada di lengan kanannya itu. Tadi pagi sewaktu ia berangkat sekolah tak sengaja jatuh tersungkir ke tanah karena terburu-buru. Lukanya memang tak begitu parah, namun sangat perih jika dirasakan.
Letta sangat ingin sekali mempunyai teman yang bisa diajak bercerita dan bercanda seperti yang lainnya. Kadang Letta juga pernah berpikir mengapa tidak ada satupun orang yang mau berteman dengannya? Sebab Letta rasa dia hanya cupu bukan berpenyakitan. Lantas mengapa ia dijauhi?
Dari kejauhan, terlihat Rere dan anggota gengnya berjalan ke arah Letta. Letta sudah tahu apa maksud kedatangan mereka.
Rere tersenyum kecut kepada Letta dan menarik rambut Letta cukup keras yang membuat Letta mengeram kesakitan. Mengapa Kakak tirinya ini begitu jahat kepadanya?
"Rambut Letta sakit Kak." katanya sambil memegang rambut yang tadi ditarik Kakak tirinya itu.
Rere tetap saja tak memperdulikan Letta yang kesakitan karena jambakan darinya itu.
"Kasih uang saku lo ke gue hari ini." perintah Rere dengan sadis dan jahat.
Hari ini Letta hanya membawa uang 50 ribu saja. Jika uang itu ia berikan kepada Rere, dia akan makan dengan apa nantinya? Dan bagaimana nasibnya pulang sore nanti? Sebab, Letta juga tak membawa motor hari ini. Hal itu dikarenakan selalu ada kerusakan pada motornya itu. Dan ia yakin, itu semua adalah perbuatan dari Mama dan Kakak tirinya.
Letta menyodorkan uang 50 ribu itu kepada Rere yang langsung diambil Rere dengan sangat kasar.
"Letta makan siang pakek apa dong Kak, kalau uang Letta Kakak ambil. Padahal kan Kakak udah dapat jatah yang lebih banyak juga setiap harinya, lalu kenapa Kakak tetap minta uang saku aku?" tanyanya pelan sambil menatap mata gadis cantik nan jahat di hadapannya ini
Entah ada angin apa siang ini, Rere membalas tatapan Letta berbeda dari yang biasanya. Sebuah tatapan yang tak menunjukan kebencian. Sebuah tatapan yang seolah-olah menyiratkan sebuah rasa kasih sayang terhadap orang yang dicintainya. Apakah sebenarnya, diam-diam Rere juga mulai menerima kehadiran Letta sebagai adik tirinya?
Namun Rere tetaplah Rere. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya bukan? Jika Mama Rere berperilaku jahat kepada Letta, tentu anaknya juga seperti itu. Kehidupan Letta, cukup persis dengan dongeng putri salju yang hidup sengsara dengan Mama dan Kakak tirinya. Tapi, putri salju akhirnya bahagia dengan pangerannya. Lalu, apakah nanti Gara adalah pangeran yang akan membahagiankan Letta dan akan selalu melindunginya? Letta harap juga seperti itu.
Rere menepuk pundak Letta pelan dan tersenyum kepada Letta.
"Lo kan punya pacar kaya raya, ya dimanfaatin dong, gue kasih tau ya punya pacar tuh harus dimanfaatin. Apalagi kalau pacar lo tuh Gara." ucap Rere dengan nada yang dibuat-buat.
"Dadaa Adik cantik, gue ke kantin dulu ya." Rere tersenyum kecut dan langsung pergi bersama Mila dan Vega.
Letta memegang dadanya dan berusaha sabar menghadapi semua perilaku dari Kakak tirinya. Letta yakin, suatu saat nanti tuhan pasti memberikan kebahagian. Letta juga yakin, jika suatu hari nanti ia akan mempunyai seseorang yang benar-benar tulus mencintainya dan mau menerimanya apa adanya.