"Bolehkah aku jadi sinar matahari di hidupmu?"
***
Dito memutar-mutar sendok garpu yang ada didepannya. Matanya tak pernah berpaling sekalipun dari Gara. Sejak tadi yang dilakukannya hanya menatap Gara, terus menatap Gara yang sedang asik bercengkrama dengan Letta. Dito memanyunkan bibir, sekali dua kali dia juga mencibir.
Ada banyak hal yang Dito tak mengerti di dunia ini, salah satunya adalah kenapa dia bisa berpikir untuk memberikan Gara tantangan itu dulu? Seberapa cerdasnya otak ini hingga terpikir hal macam ini.
"Lo iri ya wahahaha?" Kepala Dito berputar sembilan puluh derajat saat Keynan melemparinya tissue yang mungkin saja itu adalah tisu bekas. Dasar pengganggu saja dia itu. Padahal Dito sedang sibum, sibuk meratapi nasibnya yang sial terus.
"Lah ngapain cowok ganteng titisan dewa kayak gue iri sama rakyat jelata." ujar Dito bangga sambil membusungkan dada.
"Jingan." umpat Reno dengan mulut yang masih penuh dengan siomay yang diborong Dito tadi, dia sih oke-oke aja kalau makan yang gratisan. Karena yang gratis memang selalu nikmat.
Saat ini ketiganya tengah main truth or dare, awalnya empat orang tapi karena Gara sibuk dengan pacar barunya kini hanya tersisa tiga orang saja. Memang kalau sudah punya pacar lupa segalanya.
"Lah njir. Sekarang giliran lo juga, jadi Dito yang gantengnya titisan dewa ini mau pilih truth or dare?" tanya Keynan sambil menyeringai kecil. Di dalam otaknya tersusun ribuan rencana yang entah rencana baik atau buruk. Biasanya isinya rencana buruk semua.
"Titisan dewa nggak boleh pilih truth lah, yoi nggak Key?" Tentu saja Keynan langsung mengangguk mendengar pertanyaan Reno itu. Keduanya ber-tos ria lalu tertawa.
Semoga meskipun punya temen gila gue nggak ikutan gila. Gumam Dito, dalam hati tentunya.
"Hm ye ye, gue pilih truth aja."
"Yah si anjir, nggak boleh pilih yang itu. Pertanyaan diganti, dare or dare?"
Dito menggebrak meja. Enak saja main ganti-ganti, sama ucapan aja nggak bisa setia ya mereka, apalagi sama cewek.
"Ogah! Gue pilih truth."
"Nggak bisa!"
"Gue maunya truth!"
"Nggak boleh!"
"Gue gamau main kalau nggak itu!"
"HARUS PILIH DARE!!" teriak Keynan dan Reno kompak bak upin ipin dalam dunia nyata.
"La lo napa pada ngegas sih?" tanya Dito kalem. Padahal tadi dia cuma main-main. Eh tau-tau mereka malah baper nggak jelas. Dengan sisa tawa Dito berkata, "Yaudah dedek pilih dare aja. Sok atuh jangan pada ngambek."
Wajah Keynan dan Reno yang semula suram sontak berubah ceriah seolah ada sinar terang yang menghiasinya. Dengan semangat keduanya pun berkata, "Dare untuk dedek Dito adalah nanti pulang sekolah nembak Rere."
Wajah Dito pucat pasi. Dia bersiap memaki-maki sayangnya upin ipin sialan itu sudah lari terbirit-birit. Dito yakin keduanya tadi balas dendam.
Argh, ingin rasanya Dito mengumpat. Diantara ribuan dare kenapa harus menembak Rere? Kenapa juga dia dibuat berurusan dengan teman sekelasnya yang wajah dan sifatnya mirip nenek lampir itu?
Atau, ini yang dinamakan karma?
***
Ulangan Kimia miliknya baru saja dikoreksi, dengan tangan gemetar Letta membuka mata melihat angka yang tertera disana. 100. Boleh Letta bahagia saat ini? Atau dia bahagianya nanti saja setelah berterimakasih pada Gara?
Letta tersenyum senang, hatinya terus menggumamkan kata terima kasih untuk Gara yang sudah memberikan bocoran jawaban padanya. Padahal Gara jelas tau bahwa hal itu dilarang, namun dia tetap membocorkannya.
Hati Letta tersentuh, dia tak pernah membayangkan akan berada di posisi seperti ini. Posisi dimana dia menjadi kekasih Gara. Senang? Tentu saja dia senang, walau ada sesuatu yang aneh.