"Bahagia itu sederhana. Hanya tergantung bagaimana kamu menyikapinya." -Shaletta-
***
From : Letta
Gara, buat yang tadi sore makasih yah. Makasih karena Gara bikin aku makin semangat hehe.
Gara mengacak rambutnya. Gerah melihat dirinya yang semakin hari semakin gila saja. Hanya melihat chat dari Letta saja wajahnya sudah memanas seperti in. Gila bukan?
Jari-jari milik Gara bergerak lincah diatas keyboard miliknya. Namun sama seperti tadi, dia menghapus pesan itu bahkan sebelum dia menekan tombol send. Ya ampun! Bahkan membalas pesan saja butuh waktu hampir satu jam lamanya. Argh, dia lebih memilih membuat desain cover di corel daripada harus membalas pesan dari Letta yang membuat otaknya pun ikut-ikutan panas.
Ini bahkan jauh lebih susah daripada harus menyatakan cintanya pada Letta dulu. Ah semua ini salah Dito! Dia membuat Gara benar-benar jadi bucin sekarang. Tak tau harus menjawab apa, akhirnya hanya jawaban sepeti inilah yang dia kirim,
To : Letta
Y
Sudah tertera bahwa pesannya dibaca, namun kenapa Letta tak membalas pesannya? Gara merebahkan diri di kasur miliknya. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Lalu dia melirik jam tangan yang masih terpasang di pergelangan tangan kirinya. Sudah pukul 20.34.
Apakah Letta sudah tertidur?
Atau gadis itu memang sengaja mengabaikannya?
Atau Letta punya pacar lagi?
Atau dia sedang belajar?
Atau bisa saja Rere menjahilinya lagi?
Atau, dia tak punya kuota? Perlukah Gara membelikannya?
Dan kenapa juga Gara memikirkannya terus?
Gara mengacak-ngacak lagi rambutnya. Apa-apaan dia ini. Kenapa dia menjadi gila beneran begini sih. "Gara, Nak?" Gara buru-buru bangkit saat mendengar suara mamanya itu. Dia membuka pintu kamarnya perlahan. Disana mamanya terlihat cantik meski wajahnya sudah memiliki banyak kerutan dimana-mana, meski usianya tak bisa dikatakan muda.
"Ya Ma, kenapa?" tanya Gara pada mamanya yang kini sedang tersenyum begitu indahnya. Senyum yang membuat Gara selalu ingin menjaga dan melindungi Mamanya. Karena, wanita memang terlalu berharga untuk di sakiti. Dan juga, mamanya memiliki hati yang selembut sutra.
Mamanya menyodorkan nampan berisi beberapa camilan juga teh hangat. Gara hanya mampu menerima itu dengan senyum tertahan. Mamanya bilang, "Mama tau tadi kamu pasti sibuk belajar, buktinya lampu kamar kamu masih nyala. Mangkanya mama bikinin camilan buat nemenin kamu belajar, kamu pasti pusing banget ya sampai ada suara barang jatuh juga tadi." Setelah mengatakan itu mamanya pergi. Belajar yah? Maafkan Gara yang mengangguk tadi ma. Maafkan Gara yang berbohong pada mama.
Gara menatap punggung mamanya yang kian menjauh. Dia masuk lalu menutup pintunya kembali. Suara barang jatuh? Apa?
Mata hitam milik Gara menelisik seluruh ruangan di kamarnya. Lalu tatapan itu berhenti pada ponsel miliknya yang sudah tergeletak di lantai. Dia meletakkan nampan itu di meja belajarnya lalu mengambil ponselnya.
Senyum cerah muncul di bibirnya saat melihat tulisan. Panggilan tak terjawab pukul 20.41. Dan tebak dari siapa panggilan itu?
Ya tentu saja dari Letta. Gara buru-buru menelpon balik, sekarang dia sudah punya alasan untuk menelepon. Nada panggilannya sudah tersambung, membuat Gara tak dapat lagi menahan senyum yang mungkin membuat bibirnya keram ini.
"Halo?" suara Letta tampak mengalun begitu indah.
"Tadi kenapa telpon?" tanya Gara sok kalem. Padahal sudah jelas dia tak dapat menyembunyikan senyumnya karena terlalu bahagia.
"Ah itu,"