"Aku adalah sajak dalam sebuah puisi. Entah itu tersusun dari kata bahagia atau justru sebaliknya tugasku hanya menerima dan berdiam diri saja."
-Unknown-
***
Rere melangkah pelan memasuki ruangan Dokter Fano. Sejak tadi mamanya terus mengatakan bahwa dia akan baik-baik saja. Bukannya tenang Rere justru semakin merasa gelisah. Sebenarnya ada apa?
Dia hanya sering mimisan dan mudah lelah saja akhir-akhir ini. Lalu kenapa mamanya bisa sampai segugup ini. Dokter Fano, dokter pribadi keluarganya itu bilang bahwa dia hanya perlu meminum obatnya secara teratur.
Ya walau akhir-akhir dia memang jarang meminumnya. Lagipula dia tak mau bergantung pada obat-obatan. Rere malas dianggap sebagai wanita penyakitan.
Rere duduk didepan dokter Fano dengan dampingan sang mama. Dokter Fano tersenyum saat menatapnya, "Hallo Rere. Bagaimana kabar kamu hari ini? Minggu lalu kamu lupa ambil obat lo," canda Dokter Fano. Namun anehnya suasana di sekitar justru semakin menakutkan. Bahkan bulu kuduk Rere meremang karenanya.
"Saya nggak baik Dok," jawab Rere jujur.
"Apa ada keluhan?"
"Ada, banyak banget keluhannya malahan. Dokter tahu, saya biasanya bisa ikut main basket kalau lagi olahraga, tapi sekarang karena saya sering susah nafas terus sering mimisan jadi saya nggak bisa ikut olahraga lagi Dok. Dan juga, kata temen saya muka saya pucet banget. Padahal saya sudah pakai make up dan lip balm tapi katanya saya masih pucet." Diam-diam Mama Rere menangis tanpa suara. Mama Rere terus menekatkan hatinya agar tak lemah. Mama Rere harus kuat dan tabah agar anaknya mempunyai tempat untuk bersandar.
"Ulkus mulut," gumam Dokter Fano tanpa sengaja.
"Apa Dok?"
"Ah bukan apa-apa Rere. Ah iyah, apa sering muncul bintik-bintik merah di kulit kamu?"
"Iya Dok. Tulang saya juga rasanya nyeri semua." Dokter Fano hanya mampu tersenyum samar, tidak salah lagi. Hasil tes lab juga menunjukkan hal yang sama.
Dokter Fano menatap mama Rere untuk meminta ijin apakah dia boleh memberitahu sekarang. Melihat Mama Rere mengangguk Dokter Fano membuka laporan hasil lab.
"Jadi saya sebenarnya sakit apa Dok?"
"Leukimia."
"Leu apa Dok?"
"Leukimia atau kanker darah."
"Dokter bercanda ya?" Rere tertawa. Selama ini dia memang menurut untuk minum obat. Tapi, hei kanker darah? Tolong jika ada kamera hentikan saja aksi pranknya.
"Ini kenyataannya Nak," ujar Mama Rere dengan suara yang bergetar karena menangis. Rere menatap Mamanya sambil menggeleng. Tidak, tolong katakan bahwa ini hanya prank saja.
"Saya nggak nyangka bisa secepat ini Rere. Bulan lalu masih stadium dua dan belum menyebar ke seluruh organ tubuh kamu. Tapi sekarang sudah masuk stadium tiga. Mungkin karena faktor kamu terus memaksa diri untuk beraktifitas. Bisa juga karena kamu telat minum obat. Jika begini, mau tidak mau kamu harus menjalani kemoterapi." jelas Dokter Fano membuat dua orang yang didepannya itu menangis tanpa suara.
"Ma bilang sama Rere kalau ini cuma prank. Bilang sama Rere Ma." Diamnya sang mama membuat Rere mendidih. Dengan keraguan yang terus menyeruak masuk dalam otaknya dia menatap Dokter Fano.
"Dok udahan ya pranknya. Saya nggak sakit kan Dok?"
Dan dunia Rere hancur sudah saat melihat dokter Fano menggeleng pelan. Itu artinya dia akan mati dalam jangka dekat ini bukan?
Dan untuk syarat yang dia berikan pada Dito waktu itu, bisakah dia tambahi. Bahwa jika dia memang benar-benar tiada nanti dia ingin dipeluk oleh seseorang yang mencintainya dengan tulus.