"Planet bercincin namanya saturnus
Dianya cuma main-main
Kamunya serius."
***
Letta celingak celinguk ke arah Gara yang sedang bermain basket di lapangan saat ini. Gara dengan kaos oblong warna biru khas tim basket SMA Indora, membuatnya terlihat sangat tampan dari kaos olahraga biasanya. Letta tersenyum, saat mendapati Gara yang berhasil memasukkan bola ke dalam ring basket dengan sangat lihainya.
Air mineral yang tadi ia beli di kantin masih setia ia pegang di tangan kanannya. Letta berniat untuk memberikan air mineral tersebut kepada Gara saat ini. Namun, langkahnya terhenti ketika gadis cantik yang tadi duduk di bangku sporter, kini telah berada di samping Gara memberinya sebuah lap dan minuman isotonik.
Apalah daya Letta yang hanya mampu membeli air mineral saja untuk kekasihnya itu.
Letta memperhatikan kedua orang yang ada di tengah lapangan itu. Dadanya terasa sakit, saat Tania mengelap keringat yang ada di dahi dan leher Gara. Mereka benar-benar terlihat seperti seorang pasangan sejoli. Yang satu tampan, dan yang satu cantik. Benar-benar idaman bukan?
Letta pun mengurungkan niatnya untuk memberikan air mineral itu kepada Gara. Ia memilih untuk keluar dari lapangan basket itu.
Sedangkan Gara yang saat ini merasa sangat risi dengan Tania yang mengelap keringatnya seperti ini. Tangannya dengan cepat langsung mengambil handuk kecil dan mengelap keringatnya sendiri.
"Biar aku aja Kak, yang ngelapin keringat Kakak." ujar gadis itu dengan ramah.
"Gausah. Gue bisa sendiri!"
"Kakak beneran pacaran sama Kak Letta ya?" tanyanya.
"Menurut lo?" tanya Gara balik.
"Jujur sih Kak, aku nggak yakin Kakak beneran pacaran sama cewek cupu kayak gitu." kata Tania dengan menggigit bibirnya.
Gara yang mendengar jawaban dari Tania, membuatnya merasa sedikit marah dan emosi. Entah kenapa, akhir-akhir ini Gara tidak terima saat orang lain menghina shalenya. Karena lama-lama, Gara juga sudah menikmati asmaranya dengan Letta.
Tapi, ada satu hal yang membuat Gara khawatir nantinya. Bagaimana jika suatu saat nanti, Letta tahu dengan sandiwaranya semua ini?
Gara yakin Letta pasti akan sakit hati.
Debaran jantung setiap kali Gara berdekatan dengan Letta, memang tak dapat ia pungkiri. Rasa khawatir saat Rere dan gengnya menyakiti Letta selalu saja membawa sesuatu yang membuat Gara ingin terus berada di dekat gadis itu.
Saat Gara melihat Letta menangis tersedu-sedu karena masalah dengan Mama tirinya, Gara juga merasa sangat ingin memeluk Letta dan menenangkannya di dalam dekapannya.
Ini memang bukan sandiwara. Tidak ada sandiwara soal perasaan aneh yang kerap datang akhir-akhir ini. Hubungannya memang sandiwara, namun Gara tak dapat menyembunyikan debaran jantungnya lama-lama.
Shaletta
Shaletta
Shaletta
Hanya nama itu, yang setiap kali ada di pikiran Gara. Dimanapun dan kapanpun Gara berada, selalu menggumam satu nama'Shaletta'
"Pakai dukun apa sih lo."
Lamunan Gara berhenti ketika gadis yang ada di depannya ini masih tak mau pergi dari hadapannya juga.
Oh Tuhan, tolong enyahkan Tania dari kehidupan Gara.
Gara benar-benar risi Ya Tuhan
"Kak." panggilnya.
"Apa?"
"Aku buat Kakak marah ya? Kalo iya, aku minta maaf Kak. Aku nggak bermaksud ngehina Kak Letta." ucapnya polos dengan menunduk.
Nggak bermaksud menghina?
Jadi itu apa?
Pujian yang berujung menyakitkan hah?
Gara mengangguk. "Iya."
"Gue mau lanjut basket dulu, minggir!" ucap Gara dingin dan langsung melangkah pergi.
***
Cairan kental warna merah keluar dari hidung Rere yang mancung itu. Rere segera berlari ke kamar mandi dan langsung membersihkannya dengan air yang mengalir.
Pantulan kaca besar yang menampakkan dirinya semakin hari semakin pucat saja. Bahkan rasanya, ia sangat lelah jika setelah melakukan aktivitas yang berat. Dalam hatinya, yang hanya difikirkannya saat ini adalah mati, mati, dan mati. Ia tidak yakin jika pasien penderita leukimia akan sembuh walau nantinya rajin melakukan kemoterapi. Ia tak pernah menyangka tuhan memberinya cobaan seberat ini.
Air mata Rere jatuh dan membahasahi wajah cantiknya yang pucat itu. Rere masih tidak percaya jika dia sakit seperti ini. Saat dia tahu bila dirinya sakit, ini adalah sebuah rahasia terbesarnya yang akan ia ceritakan pada Dito nanti. Awalnya, Rere akan bercerita bila rahasia terbesarnya adalah selalu merasa bersalah kepada Letta saat menyakitinya. Dan rahasia kedua adalah selama ini Rere sudah menerima Letta sebagai adik tirinya. Hanya saja, Rere masih gengsi untuk mengakui itu semua.
Rere berencana, mulai hari ini nanti ia akan meminta maaf kepada adiknya dan memulai awal yang baik. Rere memang anak yang jahat, tapi bukankan yang jahat akan selalu jahat? Tidak kan?
Pada dasarnya, setiap orang pasti mempunyai kebaikan masing-masing. Dia yang terlihat jahat, belum tentu jahat sesuai dengan sikapnya selama ini. Sedangkan dia yang kita anggap baik, belum tentu sebaik yang kita kira.
Itulah kenapa ada sebuah pepatah, "Jangan lihat buku dari sampulnya."
Tapi kadang kita sering melihat buku dari sampulnya saja. Jika sampul bukunya bagus, pasti kita akan membacanya. Namun bila sampulnya jelek, kita enggan membacanya. Seperti itu bukan?
Senyuman manis itu masih bisa ia tunjukan pada semestanya yang hancur ini. Rere tak mau ia dikasihani oleh orang-orang. Rere bukan tempat kasihan! Jadi, ia tak mau menangisi penyakitnya terlalu lama.