"Dulu aku ingin kamu selalu ada di sampingku. Tapi kini bolehkah aku serakah agar kamu tak menatap mata lain selain mataku?"
-Gara banyak gaya-
***
Gara menatap mamanya yang terus tersenyum sejak tadi. Dia menggelengkan kepalanya melihat sang Mama yang tampak sangat bahagia entah untuk alasan apa.
"Mama masak makanan banyak. Jadi kamu juga harus makan yang banyak ya Nak." Gara hanya mengangguki ucapan sang Mama. Dia melahap sarapan buatan Mamanya dengan begitu semangat. Memang benar makanan restoran enak, tapi bagi Gara dan mungkin bagi sebagian orang di luar sana masakan Mama adalah masakan yang terbaik dan terenak sedunia.
"Mama lagi bahagia banget kayaknya."
"Kamu ini ada-ada aja,"
"Serius tahu Ma. Mama senyum mulu sejak tadi."
"Mama senyum terus salah, nanti mama ngomel juga salah." Gara diam, dia lupa bahwa mamanya juga wanita yang pada kodratnya tak mau disalahkan.
"Jadi Mama kenapa senyum-senyum mulu kayak gitu?"
"Coba tebak hayo," Gara tertawa melihat tingkah sang mama. Pagi harinya seakan berwarna dengan adanya obrolan manis saat sarapan ini.
"Em entah, Gara nggak tau. Coba Mama aja yang kasih tau."
"Halah kamu itu. Masa gitu aja udah nyerah sih,"
Salah lagi. Gumam Gara dalam hati.
"Mama menang arisan ya?"
"Tuh kan kamu tau. Mama emang abis menang arisan Gar, aduh Mama tuh seneng banget. Akhirnya menang juga itu arisan komplek. Mama udah nunggu dua bulan tahu." curhat mama Gara padanya. Gara terdiam sambil meletakkan sendoknya perlahan.
Dua bulan?
Dua bulan ya? Haha, dia bahkan tak tau bahwa selama dua bulan terakhir dia menjadi kekasih Shaletta. Semuanya berjalan begitu cepat hingga dia bahkan tak sadar sudah 'selama' itu berbohong pada Letta.
Jika saja sejak awal Gara menolak Dito akankah dia bisa bersama Letta?
Atau begini, jika saja setelah hari dimana dia meminta Letta menjadi kekasihnya dan dia mengatakan hal yang sebenarnya akankah Letta masih mau menjadi kekasihnya?
Ada banyak pertanyaan dalam otaknya yang dia bahkan tak tau jawabannya seperti apa. Terlalu banyak kata 'seandainya' yang Gara ucapkan. Padahal jika mengulang waktu dia juga tak dapat mengubah takdirnya.
"Gara? Nak?" Gara menoleh saat lengannya diguncangkan mamanya. Dia menatap mamanya sambil tersenyum samar.
"Mama panggil kamu tiga kali tadi. Tapi kamu diem aja. Kamu nggak suka ya kalau mama menang arisan dan heboh gini." Gara merasa bersalah karena membuat wajah mamanya yang tadi ceria menjadi murung. Astagfirullah, bagaimana dia bisa melupakan fakta bahwa meskipun dia begitu menyukai Letta namun prioritas utamanya tetaplah mama.
"Nggak gitu kok Ma. Maafin Gara ya, Gara tadi ngelamun." kata Gara sambil menggenggam tangan mamanya.
"Ngelamun? Kamu ada masalah ya? Kamu jarang ngelamun loh Gar. Kalau kamu ada masalah berbagi aja sama Mama. Mama kan juga teman kamu." Senyum hangat mama membuat Gara semakin merasa bersalah saja. Jika ini masalah lain mungkin Gara akan bercerita. Tapi ini masalah Letta, dia tak mau bercerita pada Mamanya.
Selama ini sudah banyak beban yang ditanggung sang Mama. Dia tak mau menambah beban mamanya itu. Setidaknya untuk sekarang begitu.
"Nggak ada masalah kok Ma. Cuman ngalamun biasa aja tadi."
"Jangan ngalamun lagi ya Nak, ini masih pagi nanti kamu kerasukan lagi."
Gara tertawa sejenak melihat sikap Mamanya itu, "Mama abis ikut Dito ke pengajian ya kemarin?"
"Halah, bilang aja kamu mau ngalihin topik." tawa Gara semakin meledak saja ketika mendengar perkataan Mamanya itu.