"Percayalah padaku, bahwa pundakku akan selalu sedia kau sandari setiap waktu."
***
Semuanya berlalu dengan begitu cepat hingga kadang kita tak menyangka bahwa hari silih berganti bahkan seminggu pun bisa terasa sehari. Letta tersenyum senang, ujiannya sudah berakhir hari ini. Dia hanya perlu menunggu pengumuman nilai juga kelulusannya.
Dia sudah berusaha sangat keras untuk ujiannya, tentunya dengan bantuan dari Gara. Seminggu sebelum ujian dia dan Gara selalu menghabiskan waktu bersama. Eh jangan salah paham dulu, mereka menghabiskan waktu untuk belajar kok bukan untuk hal yang lain.
Letta keluar dari ruangan ujian itu dengan raut wajah bahagia. Aih padahal yang lain keluar dari sana sambil menampilkan wajah suntuk dan ketakutan, entah Letta itu jenis manusia apa.
Kok bisa-bisanya dia tampak begitu bahagia sih?
"Hai," Letta menolehkan kepalanya menatap dua sahabat Kakak tirinya itu. Ada apa gerangan hingga mereka repot-repot menemuinya bahkan sampai say hai begini?
Walau merasa bingung Letta tetap menjawab sapaan mereka. "Hai juga, lama nggak jumpa ya?"
Senyum manis Letta membuat dua orang itu salah tingkah. Pasalnya selama ini mereka suka sekali mengusik Letta, tapi agaknya mereka sudah tobat. Lagian sebentar lagi kan masa SMA mereka akan tamat.
"Em iyah hehe. Ta, gue sama Mila kesini mau minta maaf,"
"Buat?"
"Selama ini kita kan sering jahilin lo. Maafin kita ya?"
Letta tanpa ragu langsung mengangguk. Dia memang sudah memaafkan mereka sejak lama. Walau kelakuan mereka memang sukar untuk Letta lupakan, tapi untuk memaafkan mereka Letta bisa melakukannya.
"Oh kalau gitu kita pamit ya. Bye Letta," keduanya pamit pergi sambil melambaikan tangan pada Letta. Untung saja Letta bukan tipe orang yang jahil macam Dito. Mungkin jika ada Dito atau dua upin-ipin disampingnya mereka pasti tadi akan menyemburkan tawa.
Ya bagaimana tidak tertawa jika miss bully tiba-tiba menjadi baik hati. Apalagi dua orang tadi menampilkan raut wajah yang menyedihkan sekali. Poor untuk mereka, bukan maksud Letta tak sopan tapi mungkin saja semua ini karma atas kelakuan mereka.
"Mau pulang sekarang?" Kemunculan Gara yang tiba-tiba membuat jantung Letta hampir copot rasanya. Duh mas Gara tuh ya, untung aja Letta nggak punya riwayat penyakit jantung.
"Dasar kamu tuh. Ngagetin tauk," keluh Letta kesal. Dia tadi sedang melamun memikirkan dua sahabat kakaknya saat suara Gara muncul tanpa ada jelas asal usulnya.
"Lah? Aku nanyanya kalem kali yang. Kamu mikirin apa sih sampe segitunya reaksi kamu?" tanya Gara heran. Suer deh nggak bohong, tadi dia bertanya pada Letta dengan nada kalem. Kalem banget malahan, maklum yang udah jadi bucin akut ya gini nih.
Letta menatap Gara sambil tersenyum lalu dia menggeleng pelan dan berkata, "Enggak. Aku cuman kaget aja tadi."
"Kaget karena aku nanya kamu?"
"Bukan Garaaa."
"Terus kenapa kaget gitu?"
"Tadi Vega sama Mila date-
"Mereka ngapain kamu lagi? Ada yang sakit? Bagian mana?" potong Gara tiba-tiba. Letta tak dapat menahan tawanya melihat tingkah Gara itu. Dih biasanya juga dia sok jual mahal, sok malu-malu kadang juga sok kalem.
Melihat Gara yang khawatir berlebihan membuat tawa Letta tak dapat ditahan lebih lama lagi. "Apasih Gara, lebay banget. Lagian aku kan belum selesai ngomongnya Gara. Kamu lucu banget sih kalau kayak gitu,"
Gara berdehem lalu dia menetralkan wajahnya lagi bersikap seperti biasanya. "Oh. Yaudah lanjutin ngomongnya tadi."
Dengan sisa tawa Letta mulai mengalirkan sebuah cerita. Letta menceritakan bagaimana tadi Vega dan Mila. Bagaimana merek meminta maaf padanya. Gara mengangguk paham saat Letta usai bercerita. Dia tak kepo sih, selama Letta tak terluka ya biarkan saja.
"Mau pulang sekarang? Atau mau nyari makan dulu?"
"Pulang aja deh Gar. Baru jam sepuluh juga, masa udah mau makan lagi." Letta menggeleng samar, mungkin saja tadi Gara kehabisan topik jadi bingung harus ngomong apa.
"Ya udah. Tadi aku nawarin kan siapa tahu abis ujian kamu laper. Kalau mau pulang aja yaudah ayok." kata Gara, dia lantas menggandeng tangan Letta. Keduanya menyusuri lorong bersama dengan obrolan kecil yang mampu membuat keduanya tertawa.
Siapa sangka dua manusia yang dulu sejauh matahari kini menjadi sedekat nadi. Jalan hidup memang lucu, nikmati saja prosesnya.