“Tit ... tit ... tit ....” Suara klakson motor di luar membuat Shana cepat-cepat menghabiskan susu di gelasnya dengan hanya sekali teguk. “Uhukkkkkk ....” Tak urung ia terbatuk dan memuntahkan susu yang baru sampai di rongga mulut.
“Shana, minumnya pelan-pelan, dong,” tegur mamanya.
“Buru-buru, Ma,” jawabnya singkat, lantas segera berlari ke depan tanpa memedulikan muntahan susu yang berserakan di lantai dan ocehan Mama yang kesal dengan tingkahnya.
“Anak ini,” desis Mama sepeninggalan Shana.
“Maaf, ya, aku kesiangan,” ujar Shana setibanya di depan rumah ke arah Devan yang sudah menunggunya di atas motor.
“Nggak apa-apa, lagian ini masih terlalu pagi untuk ke sekolah,” jawab Devan sambil tersenyum manis kepada Shana yang berjalan mendekat ke arahnya. Mendengar hal itu, Shana malah tersenyum malu. Ini orang nyindirnya halus banget, sih, udah hampir jam 7.00 masih dibilang terlalu pagi, batinnya sambil menaiki motor dan duduk manis di belakang Devan, cowok ganteng yang hampir setahun ini jadi tetangganya sejak ia dan keluarga pindah dari Kabupaten Barat. Sejak saat itu juga Shana harus berangkat sekolah bareng Devan karena mereka sekolah di tempat yang sama, hanya saja mereka tidak satu kelas. Bukan hanya berangkat sekolah, melainkan juga untuk hal lain, mereka selalu melakukannya berdua. Jadi, tidak heran kalau banyak teman-teman di sekolah menyebut mereka “couple”. Dan, Shana sendiri sangat senang akan hal itu meskipun baik Devan maupun Shana tidak pernah mengungkapkan kata-kata cinta, tapi bagi Shana perhatian serta cara Devan memperlakukannya lebih dari sekadar ungkapan kata cinta itu sendiri.
“Hey, kucing, kenapa diam? Biasanya juga selalu mengeong,” tanya Devan di atas deru motor karena tak mendengar suara cewek imut di belakangnya sedari tadi.
Mendengar hal itu mulut Shana mendadak manyun membentuk kerucut. “Dasar, keong, seenak jidat manggil orang ‘kucing’,” Shana mengoceh sendiri di belakang.
“Sepertinya ada yang lagi ngoceh-ngoceh sendiri, nih,” goda Devan sambil tersenyum jail.
“Iwwwwww ...,” ujar Shana kesal sambil mencubit pinggang Devan gemas, bukannya marah karena dicubit Shana, Devan malah tertawa lepas sambil terus menggoda. Begitulah tingkah kedua makhluk ini kalau lagi pergi sekolah atau ke mana pun, selalu ada saja yang diributkan dan itu menambah romantika di antara keduanya. Jadi, tidak salah, dong, kalau orang menyangka mereka pacaran.
Sesampainya di parkiran sekolah, Shana langsung menyelonong pergi tanpa memedulikan Devan. Tapi, emang dasar Devan yang jail, dengan cepat ia menarik kucir rambut Shana dan membuat cewek imut itu mengerang marah.
“Resek banget, sih, jadi orang,” Shana marah, tangannya hampir saja mencakar punggung Devan kalau saja Devan tidak cepat berkelit menghindar.
“Ha ... ha ... ha ...,” Devan malah tertawa senang melihat ekspresi kesal Shana.