Sepulang dari kemah, Ihsan, Alim, dan Yusuf menemui orang tua mereka untuk memberi kabar. Mereka disambut dengan ceria di sebuah rumah makan. Basri, orang tua Yusuf, mengingatkan putranya untuk mencari sebuah tempat tinggal. Ikal dan Khan juga baru ingat bahwa anak mereka belum punya tempat tinggal dan menyuruh anak mereka mencari bersama Yusuf.
Mereka mencari di sekeliling area Mataram. Sempat keluar ide dari Yusuf untuk berkemah sampai lulus karena barang-barang berkemah hanya perlu disewa sekali sampai pengembalian, meski denda berlaku untuk kerusakan setiap benda yang sudah didesain dengan perbaikan otomatis meski bertahap. Ide ini sempat disambut Ihsan dengan semangat, tapi Alim segera membantah, mengingatkan mereka tentang kejadian yang menimpa mereka sambil memukul kepala mereka. "Itu opsi terakhir," kata Alim yang masih trauma dengan kelakuan Ihsan.
Mereka pun mencari hunian yang pas. Mereka mulai dengan asrama kampus. Alim segera meyakinkan temannya untuk tinggal di asrama yang bagus, namun Ihsan langsung komplain dan bilang bahwa tidak ada halaman untuk kegiatan. Meski jadi sedikit ngambek, Alim mengikuti Ihsan karena dia paham Ihsan mau memanfaatkan halaman rumah untuk melakukan sesuatu. Mereka kini mencari sewa rumah. Yusuf kembali mengusulkan ide berkemah, tapi sekarang satu tahun saja. Alim tentu saja kembali tak setuju dengan ide liar Yusuf. Mereka menyusuri pemukiman di dekat situ untuk mencari sewa rumah. Karena capek kebingungan, mereka duduk-duduk di musholla setelah beribadah. "Arrrggghhh, kenapa tidak ada yang halamannya luas," ucap Yusuf dengan geram. Dia tidak paham apa kemauan Ihsan dan kenapa Alim terus mengikuti kemauan anak itu. Karena penasaran, dia menanyakan hal ini pada Alim. "Wei, kenapa kamu terus mengikuti kemauan Ihsan? Dia tidak terlihat spesial," tanya Yusuf penasaran. "Memang tidak ada yang spesial," jawab Alim. Sontak ini membuat Yusuf mengeryitkan dahinya penuh penasaran. "Tapi kami memang punya beberapa rencana sebelumnya dan dia punya rencana buat berjualan, jadi aku ikut," jelas Alim, yang membuat Yusuf mulai mengangguk pelan mencoba memahami cara berpikir dua anak yang baru dikenalnya itu. Lalu mereka menetapkan titik kumpul di situ dan mulai mencari di tempat yang berbeda, namun sampai larut malam mereka tak juga menemukan tempat yang cocok untuk berkembang. Bersama, mereka pun kembali ke musholla itu. "Nihil, cak, gimana toh ini," ucap Ihsan merenung. Alim mengajukan ide untuk tinggal di asrama saja, sedangkan Yusuf masih menginginkan untuk tinggal di perkemahan. Mereka pun memutuskan untuk tidur di sana sambil memasak dan memakan bekal mereka. Tak berselang lama, seseorang menyapa mereka. "Hei, siapa kalian? Kenapa kalian tiduran di sini?" sapa laki-laki itu. Pakaiannya rapi, nampaknya ia dari keluarga berada. "Kenapa diam saja?" sapanya lagi dengan riang. "Eh, iya mas, kami sedang mencari tempat tinggal," sahut Ihsan. Lalu anak laki-laki itu turun dengan cepat menghampiri Ihsan, Alim, dan Yusuf. "Sebentar, kalian mau cari tempat tinggal yang seperti apa? Oh iya, aku Steve, aku tinggal di sini," ucap Steve memperkenalkan diri. "Kami sedang cari tempat yang bisa bertiga dan halamannya cukup luas untuk jualan, mas," sahut Ihsan penuh keyakinan. Ekspresi Steve terlihat cukup penasaran. Dia termenung berpikir dalam benaknya, dia bertanya-tanya, "Dari wajah mereka, mereka seperti siswa kadewaguruan baru. Kenapa mereka tidak ke asrama saja? Bukannya tinggal di asrama gratis? Kenapa mereka mau tempat tinggal yang halamannya luas? Mau berjualan!? Kayaknya aku juga bisa ikutan, mereka juga terlihat serius," pikir Steve. Lalu dia pun kembali ke dapurnya, mengambil beberapa cangkir dan teko, lalu dia menyalakan teko pemanas itu dan memasukkan bubuk kopi. "Kalian mau?" tawar Steve. "Boleh, mas," ketiganya menyahut bersamaan. "Jadi gimana, mas Steve, ada saran ndak?" tanya Alim penuh harapan. Steve menuangkan kopi ke gelas-gelas mereka. "Minum dulu," ucapnya. Setelah menyeruput kopi, dia mulai menjelaskan, "Aku juga siswa kadewaguruan, aku sudah setahun, oh iya aku bukan dari Sahasradwipa, aku berasal dari Panditanagara aku sekolah disini karena orang tuaku sedang ada bisnis disini setelah beberapa hal aku masuk di Kadewaguruan di Mataram ini oh iya nama kadewaguruan ini Manasasagara mulai biasakan itu karena kupikir kalian juga diterima di Manasasagara dan ya aku tinggal di musholla ini karena kupikir tempatnya cukup nyaman,sayangnya sepi, jadi aku tinggal disini. Nah kalau kalian mau ikutan tinggal ayo lantai 2 itu ruang belajar aku biasanya tidur di basement itu ada dapur dan halamannya juga cukup luas itu jika kalian mau sih," jelas Steve. "Wah boleh mas baiklah kami akan tinggal disini," sambut Ihsan dengan cepat. "Emang bener boleh mas Steve," tanya Alim, Steve hanya mengangguk pelan mengiyakan. "Oh iya mas dimana kami harus merapikan barang kami," tanya Yusuf. "Ikuti aku," kata Steve sambil membawa ketiga anak itu ke basement disana ada ruangan luas yang bisa dihuni beberapa orang terlihat monitor hologram Steve, beberapa sabit perang ,buku-buku dan pakaian lengkap dengan atributnya namun ruang ini masih sangat longgar. "Ya kita bisa berbagi ruangan disini," ucap Steve sembari memperlihatkan ruangan luas yang hampir kosong itu, melihat ruangan itu masih sangat longgar mereka pun merapikan barang mereka disisi lain hari itu mereka juga berencana membeli perabotan mendengar ini Steve hanya tertawa, "Kalian ini bersemangat sekali, lebih baik kalian tidur dulu sudah malam, besok shubuh kubangunkan nah lalu kalian boleh beli perabotan," ucap Steve yang membuat Ihsan, Alim dan Yusuf mengangguk bersama dan langsung tidur, hari itu Steve hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Hmm anak-anak yang lucu, spontan sekali," gumam Steve, tak berselang lama Steve pun ikut membaringkan diri. "Sungguh hari yang luar biasa, terimakasih Tuhan," pikir Steve, lalu dengan senyuman kecil dia mengistirahatkan dirinya untuk esok hari. "Apa lagi kejutan dariMu esok hari," gumam Steve, lalu setelah mengucapkan itu dia membaca do'a lalu memejamkan matanya, pada akhirnya hanya Tuhan tempat mereka mencari ketenangan.