Sejak menyaksikan ketimpangan di lingkungan keraton, ambisi Ihsan terhadap usahanya pun meningkat. Ia mulai menyusun rencana-rencana besar: mulai dari merekrut pekerja, membeli perlengkapan, mendesain seragam, membangun sistem pesan antar, hingga kemungkinan membeli vimana demi kelancaran operasional. Tapi, hal pertama yang ingin ia kuasai adalah kemampuan untuk terbang. Ihsan membuka kembali catatan latihannya bersama Steve tempo hari. Yusuf dan Alim sudah bisa melayang di udara, tinggal dia yang belum. Pagi buta sebelum fajar menyingsing, Ihsan mencoba memusatkan tenaganya ke kaki, lalu menghentakkannya kuat-kuat. "Braaak!" — sayangnya, kontrol energinya buruk, dan ia justru menghantam pohon. Ia kembali mencoba, “Bruuk!” — kali ini dorongan energinya masih belum stabil, hingga ia jatuh terhempas ke tanah. Ihsan terus berlatih hingga waktu cukup lama berlalu. Tak lama, “Kriiing!” alarm pagi warung mereka berbunyi, pertanda dimulainya kegiatan.
Pagi itu, Ihsan benar-benar fokus bekerja. Saat melirik ke arah Alim, ia melihat temannya itu sudah bisa mengeluarkan api dari telapak tangan saat mengurus perapian. Lalu pandangannya beralih ke Yusuf, yang sedang melayang sambil memasang lampu dan menyalurkan energi listrik ke baterai yang dipegangnya. Hari pun mereka jalani seperti biasa hingga sore menjelang dan dagangan habis terjual.
Menjelang petang, Ihsan memilih menyendiri di kandang sambil menjaga ayam-ayamnya dan menunggangi lembu kesayangannya.
“Kuncoro… seminggu lagi sekolah mulai. Kau bakal sendiri lagi,” gumam Ihsan kepada sapinya.
Ia lalu menatap langit sembari kembali berlatih. Tanpa ia sadari, dari kejauhan, tiga sosok telah mengintai kandang ayam, menanti waktu yang tepat untuk beraksi. Seusai latihan, Ihsan duduk sebentar untuk beristirahat, mengatur napas sambil memperhatikan Kuncoro yang sudah terlelap setelah ikut berlatih seharian.
“Keluar saja dari balik semak. Aku sudah tahu sejak tadi,” ujar Ihsan tajam sambil bersiap menghadapi bahaya.