Kota Garudapura, ibu kota pertama dari Sahasradwipa, merupakan tempat yang sangat sibuk. Sepanjang dua puluh empat jam, kota ini seolah tak pernah berhenti berdenyut. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, dan berbagai vimana melayang di udara. Segala aktivitas berjalan cepat dan dinamis. Di kota inilah Shafa tinggal. Ia tengah termenung di depan dinding kaca rumahnya. Di sampingnya, tersedia sepiring buah segar, secangkir kopi hitam, dan sebuah buku yang baru saja ia rampungkan. “Tujuh hari lagi sekolah dimulai, semua perlengkapan sudah siap. Tapi libur sebulan ini membuatku jenuh. Hmm, lebih baik ajak teman-teman main ke rumah,” gumam Shafa. Ia pun segera meraih gawai, lalu mengirim pesan kepada dua temannya, Shifa dan Sekar, yang baru dikenalnya ketika menonton teater kerajaan beberapa waktu lalu. Ia juga mengirimkan lokasi rumahnya.
Siang itu, Shafa sudah menunggu dengan tampilan rapi di depan rumah, ditemani beberapa pembantu. Tak lama, dua vimana mungil melayang turun di depannya. Shifa turun dengan dua pengawal, sementara Sekar tiba bersama seorang pembantu setianya. Shafa menyambut kedatangan mereka dengan penuh semangat. “Hei, Shifa, Sekar! Aku kira kalian takkan datang, kita baru kenal di teater kemarin,” ucap Shafa ceria. “Oh iya, kebetulan ayahku ada urusan bisnis di sini, jadi aku diajak ikut. Mungkin sekarang beliau sedang mempromosikan batik buatannya,” kata Shifa. “Eh, If, terus kenapa kemarin kamu beli batik di toko sekolah? Padahal ayahmu sendiri pengrajin batik. Lagi pula sampai dikejar pengawal segala,” tanya Sekar. “Eee... aku cuma ingin lihat desain lain, sekalian nyari inspirasi buat ayah. Soal dikejar itu, karena aku keluar tanpa izin,” jawab Shifa dengan senyum malu. “Kalau kamu sendiri, Sekar, kok bisa cepat sampai?” tanya Shafa penasaran. “Oh, rumahku dekat dari sini. Makanya aku datang tanpa lama,” jawab Sekar ringan. “Oke, terus kita mau ke mana?” tanya Shafa. “Kota tua yuk, gayanya unik dan beda,” usul Shifa penuh rasa ingin tahu. “Setuju. Ayo berangkat!” seru Shafa. Mereka pun pergi, diiringi para pengawal masing-masing.
Setelah tiba di kota tua, mereka menyusuri kompleks Keraton Dharmaraja, kediaman kuno Prabhu Dharmakusuma. Tak ada tembok atau pagar, hanya hutan lebat yang jadi pelindung alami, dihuni berbagai makhluk penjaga. Setelah cukup lama berjalan, mereka sampai di keraton, disambut seorang penjaga. Suasana tempat itu damai dan menenangkan. Kini, keraton tersebut menjadi kawasan cagar budaya dan hanya digunakan untuk acara seremonial penting. Banyak orang datang untuk beristirahat atau sekadar menenangkan diri. “Tempat ini mirip suaka,” komentar Sekar sambil melihat mata air tempat burung-burung mandi dan kerbau minum. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ruang utama, tempat sebuah layar putih besar berdiri, dijaga oleh dua patung besar: Maharaja Dharmakusuma dan Senapati Bhataramuni.
Selama beberapa waktu, mereka berkeliling keraton yang ternyata masih terawat dan aktif digunakan. “Keraton Kartasura tak seperti ini,” ujar Shifa. “Mungkin ini sesuai selera kakek buyutmu,” timpal Shafa. “Nggak juga, kan Kartasura dibangun kakek buyutku sendiri,” balas Shifa. “Layar putih ini artinya apa ya?” tanya Sekar, bingung melihat layar itu, apalagi di bawahnya ada ratusan pedang tertancap di batu. Semakin mereka menyusuri ruangan, semakin terasa perbedaan antara tempat ini dan kediaman megah Shifa. Di sini, ruang-ruangnya sederhana namun fungsional: ruang seni, pusaka, makan, tidur, dan lainnya. Mereka pun sampai ke lapangan luas, yang menurut penjaga adalah tempat latih tanding para jawara zaman dahulu. Shifa terlihat familier karena tempat seperti itu juga ada di rumahnya. Shafa pun meminta izin menggunakan arena itu, mengajak teman-temannya berlatih. Hanya Shifa yang setuju, sementara Sekar menolak secara halus. “Kalian saja, aku cukup menonton,” ucap Sekar. “Yakin? Kita bisa jadi kuat bareng-bareng,” bujuk Shafa disetujui anggukan dari Shifa. Tapi Sekar tetap menolak. “Aku simpan tenaga buat jaga-jaga kalau ada binatang liar. Arena ini terhubung ke hutan, bisa jadi berbahaya,” jawab Sekar. “Kalau begitu, tunjukkan kekuatanmu biar kami percaya,” tantang Shifa sambil tersenyum. Sekar pun merapal mantra, membentuk mudra dengan tangannya, lalu mengarahkan dua jari ke langit. “Blarr!” Sambaran petir muncul dari tangannya, menyambar angkasa. Keduanya terpana. “Hehe, lebih baik kita berdua saja yang bertanding,” kata Shifa, masih kaget. “Oke, aku bersiap dulu,” balas Shafa sambil terus menatap langit.