Sepuluh hari telah berlalu sejak awal masuk sekolah, dan sekitar tiga hari lagi akan digelar Festival Bulan Purnama di kediaman Vaivasvata.
“Cak Alim, katanya tiga hari lagi ada festival di rumah Vaivasvata. Kau datang, kan?” tanya Ihsan.
“Hmmm, baru juga pulang sekolah, udah ngomongin itu aja. Datang, kok. Kita kan juga buka stand di sana,” jawab Alim.
“Sepertinya kita punya cukup banyak orang untuk bantu, tapi mungkin lebih baik kalau kru senior yang ikut. Kau mau ikut, Anas?” tanya Yusuf.
“Oke, Mas Yusuf. Untuk kru-nya, kayaknya cukup bertiga. Tapi Lina dan Fio tetap di kedai saja, biar mereka yang jaga,” sahut Alim.
“Bagus, kau yang atur ya. Kami percayakan padamu,” ucap Yusuf.
Festival Bulan Purnama merupakan perayaan tahunan menjelang bulan suci, dirayakan oleh seluruh komunitas ManasaSagara. Tahun ini, giliran rumah Vaivasvata yang menjadi tuan rumah, sesuai penunjukan dari dewan sekolah.
Malam perayaan pun tiba. Kelima sahabat datang mengenakan pakaian seragam: setelan putih lengkap dengan jam tangan serta sebilah golok tergantung di sabuk mereka sebagai bentuk kewaspadaan. Mereka juga membawa Anas dan timnya, yang mengenakan setelan hitam serta sarung batik, untuk menjaga stand yang telah mereka sewa. Setelah memastikan Anas dan timnya tiba di lokasi, mereka pun mulai menjelajahi area festival.
Seperti biasa, Steve dan Lintang memisahkan diri, langsung menuju area persenjataan dan perlengkapan serbaguna untuk mendukung aktivitas berburu dan tugas-tugas mereka. Sementara itu, Ihsan, Alim, dan Yusuf berjalan ke sisi lain dari kompleks rumah Vaivasvata untuk menyaksikan purnama dari area altar, tanpa menyadari bahwa mereka sedang menjadi target serangan.
“Hmmm, Seno, kau tahu siapa targetmu, kan? Kupikir tanda yogi ini cocok ditanamkan pada sang putri dan anak yang di tengah itu,” ucap seorang pria berjubah, menunjuk ke arah Alim. Ia adalah sosok misterius yang sempat muncul di teater kerajaan sebelumnya.
“Siap, tuan. Aku sudah menciptakan makhluk-makhluk itu dan segera akan kukirimkan untuk menyerang mereka. Apalagi tuan putri dan rekan-rekannya juga ada di lokasi. Ingin kukirimkan juga ke arah mereka?” tanya Seno.
“Tidak perlu, Seno. Cukup dua orang saja. Tuan putri akan berguna sebagai akses menuju istana, sedangkan bocah itu akan menjadi pion terbaik kita. Dia keponakan Yudi, dan kemungkinan besar mewarisi mata yang sama. Mata yang pernah mempermalukanku,” ucap pria berjubah itu sambil menyeringai.