Shangkara

Ghozy Ihsasul Huda
Chapter #25

Netra

Tiga hari menjelang hari raya. Langit Mataram biru terang, namun suasana batin Alim terasa kosong tanpa kehadiran kampung halaman. Ia menatap ke arah cakrawala sambil menyandarkan punggung pada cabang pohon.

“Hei Ihsan, tinggal tiga hari lagi menuju hari raya. Ini pertama kalinya kita tidak merayakannya di rumah, bukan?” tanyanya, memecah sunyi.

Ihsan mengangguk pelan, wajahnya teduh namun matanya memantulkan kerinduan.

“Iya, keadaannya memang sangat berbeda dibandingkan di Tirtawangi. Ini sungguh pengalaman yang unik bagiku.”

Alim menghela napas.

“Apa kabar orang tua kita di rumah? Semoga mereka dalam keadaan sehat.”

“Mereka pasti baik-baik saja, Cak. Aku rasa, justru mereka yang lebih merindukan kita.” Ihsan tertawa ringan, mencoba mencairkan suasana.

Sementara itu, jauh di Tirtawangi, Nita termenung di beranda rumah. Angin membawa aroma kayu dan rumput basah, menambah rindu yang menggantung.

“Hmm, bagaimana perkembangan anak-anak di Mataram ya?” tanyanya pada Tin yang sedang menyapu halaman.

Tin menoleh, tersenyum.

“Kan mereka hampir tiap hari mengirim kabar.”

Di desa kecil itu, warga sibuk mempersiapkan hari raya. Kebersamaan menjadi ruh dari setiap gerakan. Sapi-sapi mulai dipersiapkan untuk kurban, hasil panen dikumpulkan untuk dimasak bersama, dan rumah-rumah dipenuhi hiasan buatan tangan. Tak hanya itu, warga juga menanam pohon dan buah-buahan di hutan, hadiah untuk satwa liar di sekitar.

Jumlah penduduk memang sedikit, tetapi semangat gotong royong tak pernah padam. Mereka hidup saling mengandalkan, saling menganggap sebagai saudara. Saat hari raya mendekat, suasana desa penuh sukacita. Para peternak merayakannya bersama ternak dan keluarga mereka. Petani bersyukur atas ladang mereka. Para penjaga hutan menyatu dengan alam dalam perayaan mereka sendiri. Bahkan hewan-hewan di hutan pun tampak ikut bahagia.

Sebelum menyembelih hewan, mereka selalu berdoa dan mengucapkan terima kasih. Semua dilakukan dengan penuh penghormatan, sangat kontras dengan kota-kota besar yang lebih mengedepankan kemewahan dan pamer. Tirtawangi memilih untuk bersyukur dengan apa yang mereka miliki.

Di Mataram, suara panggilan membuyarkan lamunan.

“Hoi Ihsan, Alim, ngapain kalian duduk di atas pohon? Kangen rumah, ya!?” seru Yusuf dari bawah.

“Hehe, iya Suf, aku kangen. Entah kalau Ihsan,” jawab Alim sambil nyengir.

“Yow, Yusuf. Sebenarnya aku niatnya mau petik buah, tapi ternyata belum musim,” sambung Ihsan.

Mereka pun turun dan berjalan ke arah area perayaan yang mulai dirapikan.

Lihat selengkapnya