"Ah, kayaknya aku kepagian lagi. Hmm, nggak apa-apa sih, kan aku setoran ke kantin dulu baru masuk kelas. Wajarlah kalau pagi. Malah emang seharusnya lebih pagi," gumam Ihsan sendirian di dalam kelas, sambil memandangi deretan bangku kosong dan cahaya matahari yang mengintip dari celah jendela. Ia sedang menunggu teman-temannya datang.
Lalu terdengar langkah kaki perlahan memasuki ruangan. Sosok seorang wanita muncul di ambang pintu, seseorang yang Ihsan kenal.
"Hmm, sudah ada siswa yang datang ya," ucap wanita itu sambil memeriksa keadaan kelas.
"Hmmm... eh, Bu Nisa? Njenengan ngajar di kelas ini?" tanya Ihsan dengan suara sedikit terkejut. Ia mengenali wanita itu sebagai Bu Nisa, orang yang pernah ia temui saat mengantarkan rawon ke rumah Pak Arya.
"Eh, kamu... hmm, anak yang berjualan makanan itu ya?" tanya Bu Nisa sambil menatap Ihsan dengan pandangan menyelidik.
"Hu umm... eh, terima kasih lho Bu, udah dipromosikan masakan kami, ehehehe. Jualan saya jadi lebih ramai lagi," ucap Ihsan dengan riang, senyumnya lebar dan penuh syukur.
"Eh, itu Pak Arya yang promosikan. Entah kenapa dia suka terobsesi dengan mengembangkan minat dan bakat siswa-siswinya. Ini aja aku diminta mengajar di sini olehnya karena kamu ada di sini. Dia minta untuk mengajarkanmu cara-cara memakai elemen dasar," jawab Bu Nisa dengan nada santai, seakan menjelaskan hal sepele.
"Wah, saya spesial, Bu!? Ahahaha, saya tahu itu!" ucap Ihsan percaya diri, wajahnya berseri-seri seakan menerima penghargaan besar.
"Yup, kau spesial. Pak Arya bilang kau perlu pelatihan khusus karena tidak sekuat siswa-siswi lain di angkatanmu. Karena itu, Pak Arya memintaku untuk mengajar di kelas ini. Tapi jangan salah. Hanya karena suamiku ingin aku melatihmu, bukan berarti aku akan mengistimewakan dirimu," kata Bu Nisa sambil menatap Ihsan tajam, suaranya penuh penekanan.
"Hehhh... masih saja berada di bawah yang lain. Berarti aku harus berlatih lebih banyak lagi... lebih kreatif lagi, hmmm," gumam Ihsan pada dirinya sendiri, kepalanya sedikit menunduk namun matanya bersinar penuh tekad.
"Hhhh... Arya benar. Anak ini spesial. Semua manusia bisa mencapai kejayaan. Dia hanya perlu melalui jalan yang lebih jauh karena potensi energinya yang jauh lebih kecil dari teman-temannya. Tapi aku yakin dia bisa,"
pikir Bu Nisa sambil memandang Ihsan dengan tatapan lembut yang hanya terlihat sekilas.
"Bu, hmmm... apa kelas kita nanti akan dipisah!? Aku dengar ada kelas tambahan untuk masing-masing elemen setelah pelajaran utama. Apa itu benar?" tanya Ihsan dengan penasaran, pandangannya tertuju penuh harap pada Bu Nisa.
"Oh, itu ada sih. Tapi itu bukan program kelas wajib. Lebih tepatnya itu klub pendalaman yang bisa diambil para siswa. Jadi kalau kau mau mendalami elemen dasar secara lebih lanjut, ada biayanya," jawab Bu Nisa sambil mengangguk perlahan, matanya menelusuri berkas data siswa yang dibawanya.
"Oh, klub berbayar ya... Eh Bu, kok tidak ada klub elemen kayu atau plasma? Teman-temanku mengobrolkan hal itu," tanya Ihsan lagi, kepalanya sedikit miring, penuh rasa ingin tahu.
"Itu kan elemen lanjutan. Metode pastinya hanya segelintir orang yang tahu dan dirahasiakan tata cara penggunaannya karena belum ada metode yang benar-benar aman untuk mengombinasikan elemen dasar. Aku juga punya satu elemen lanjutan, yaitu elemen es, yang kubuat dengan menggabungkan angin dan air. Tapi bahkan diriku tidak tahu cara pasti untuk mengajarkannya padamu, karena cara masing-masing orang akan beda."
Bu Nisa kemudian melirik ke arah jam dinding.