"Woaah, masih belum berhasil," ujar Ihsan yang terus mencoba mengaktifkan elemen angin.
"Klub angin itu bagaimana? Kata Bagas, si Rio ikut juga. Kenapa kau tidak bergabung?" tanya Alim penasaran.
"Cak, kita tidak punya cukup waktu untuk itu. Uangku juga lebih baik kualokasikan ke bisnis. Rio juga paham dengan kondisiku dan warungku. Jadi kalau ada catatan tambahan, dia pasti memberikannya padaku," ucap Ihsan yang mulai kelelahan.
"Kalau soal warung, aku bisa bantu mengurus. Tapi kau butuh pelatihan khusus untuk bisa mengeluarkan elemen angin, daripada hanya ikut kelas. Kurasa ilmu yang didapat sebanding dengan uang yang kau keluarkan. Lagipula, makin sering aku masak, makin bagus juga perkembangan elemen apiku," ujar Alim.
"Kalau begitu, bagaimana dengan rencanamu mempelajari elemen air dan listrik?" tanya Ihsan.
"Soal elemen air, aku sudah terbiasa mencuci, dan juga Shifa banyak membantuku soal itu. Sedangkan untuk listrik, kau tahu sendiri Yusuf sudah berada di tingkat yang sangat tinggi, jadi dia bisa mengajariku," jawab Alim.
"Memangnya masih bisa ikut kalau sudah terlambat seperti ini?" tanya Ihsan lagi.
"Itu klub, Ihsan. Sebuah perkumpulan yang bisa kau ikuti kapan saja. Aku dengar Yusuf melihat kakak kelas yang baru ingin ikut klub elemen tanah bersamanya tahun ini," jelas Alim.
"Aku lebih baik menemaniku di sini," kata Ihsan sembari kembali berlatih, membuat Alim tersenyum kecil melihatnya.
Ihsan terus berlatih sendiri di lapangan, berusaha keras memahami elemen angin yang sulit dia kuasai. Sampai akhirnya, sebuah hembusan angin kuat tiba-tiba mementalkannya.
"Wooaaah! Kuat sekali anginnya," teriak Ihsan yang terpental ke arah pohon.
"Hei, Ihsan! Kenapa gak bilang padaku kalau kau ingin belajar elemen angin?" tegur Steve, muncul dari balik debu akibat hempasan angin tadi.
"Mas Steve!?" seru Ihsan terkejut. Mereka pun duduk sebentar, menenangkan diri.
"Jadi Mas Steve bisa menggunakan elemen angin?" tanya Ihsan, mencoba memulai pembicaraan.
"Begitulah. Di Panditanagara, mempelajari elemen adalah hal penting. Hampir sama dengan di sini. Sepertinya, di seluruh dunia ini kita mempelajari elemen dasar sesuai alur keluarga masing-masing. Bedanya, kami dikumpulkan dalam satu wilayah agar elemen dasar itu semakin kuat mengakar. Sukuku, Suku Bala, secara khusus dikelompokkan untuk mempelajari elemen angin. Secara turun-temurun, kami memiliki genetika yang sangat cocok untuk elemen itu," jelas Steve.
"Bukankah itu membatasi kalian mempelajari elemen lain? Dan, karena talenta kalian adalah angin, bukankah itu artinya kalian mempelajarinya lebih cepat tapi jadi kesulitan untuk mengajarkannya?" tanya Ihsan lagi.
"Tak sepenuhnya benar. Ada perbedaan mendasar antara sistem tiap negara. Di negaraku, satu wilayah dihuni satu kelompok orang secara turun-temurun. Pembentukan elemen diajarkan secara turun-temurun, lengkap dengan catatan sejarah yang rinci. Karena hanya satu kelompok di wilayah itu, maka pengetahuan spesifik terus diperbaiki. Contohnya, wilayahku dimandatkan untuk elemen angin. Maka seluruh wilayah kami memperdalam catatan tentang elemen angin. Tapi kami tetap bisa bertukar catatan dengan wilayah lain bila ingin mempelajari elemen atau teknik lain," jelas Steve panjang lebar.
"Woaah, begitu ya. Baguslah. Jadi kita mulai dari mana, Mas Steve?" tanya Ihsan penasaran.
"Kita mulai dari menari," jawab Steve dengan yakin.
"Hah? Menari? Apa hubungannya dengan menggerakkan partikel?" tanya Ihsan bingung.
"Haha, ini metode termudah. Daripada menggerakkan partikel dengan aliran energimu, lebih baik tahan energimu di tangan lalu gerakkan tubuhmu. Maka partikel yang terinduksi akan ikut bergerak. Kenapa menari? Karena itu tak butuh banyak ruang dan membuatmu lebih fleksibel dalam gerakan," terang Steve.