Shangkara

Ghozy Ihsasul Huda
Chapter #38

Kampung Kincir

"Ayo, Romo, kita ke sana," pinta Shifa kepada ayahandanya.

"Iya, Nak... sebentar ya. Romo capek. Nanti kita ke sana," sahut sang ayah dengan lembut.

"Ayo, Yah. Katanya mencari inspirasi untuk pembangunan penting. Kampung kecil di samping Manasasagara itu cocok buat contoh," bujuk Shifa, setengah mendesak.

"Iya, Shifa... kita ke sana. Apa tadi kodenya?" tanya sang ayah, mulai berdiri.

"A-2121, Romo," jawab Shifa sigap.

"Hmmm... apakah kita perlu menamai tempat itu?" gumam sang ayah sambil melirik ke kejauhan.

"Terserah njenengan, Romo," balas Shifa dengan nada ringan.

Saat itu, mereka tengah merencanakan perjalanan ke daerah tempat tinggal Ihsan, yang belakangan berkembang pesat meski bantuan dari Keraton tetap seperti biasa. Kemajuan itu begitu mencolok, terjadi sekitar sebulan setelah Ihsan pertama kali melatih elemen angin kepada masyarakat. Karena itulah, keluarga kerajaan berencana untuk mengunjungi tempat itu.

Di suatu pagi yang cerah, di tempat tinggal Ihsan.

"Waah, Ihsan... kurasa dulu kampung ini nggak seperti ini," ujar Rio, yang tengah berkunjung.

"Kalau begini terus, bisa-bisa kampung ini makin maju," timpal Eda penuh kagum.

"Hmm, ini karena warga di sini cukup akur dan mau maju bareng-bareng, hehe," sahut Ihsan merendah.

"Berhentilah merendah begitu, Ihsan. Kami tahu, orang-orang di sini mengenal dan menghormatimu. Padahal kau lebih muda dari kami, tapi mereka memanggilmu 'mas', sedangkan kami dipanggil 'adik'," ungkap Eru, salah satu teman sekelas Ihsan.

"Oh begitu, kah? Bukannya itu memang panggilan buat penjual makanan pada umumnya? Hmm... maksudku, tukang cilok juga kupanggil mas. Aku kan penjual mie ayam," ujar Ihsan polos.

"Kayaknya dia nggak paham dengan maksud kita," bisik Rio.

Eda dan Eru hanya mengangguk pelan. Mereka memang sudah terbiasa dengan ketidaktahuan Ihsan terhadap pujian.

"Jadi begini sekarang keadaan kampung ini, Shaf?" tanya Sekar, yang tengah berjalan berdua dengan Shafa.

"Ya, aku juga menyadarinya. Kurasa tempat ini memang banyak berubah. Aku hanya nggak sadar karena sering ke sini buat beli mie ayam," jawab Shafa tenang.

"Kau suka mie ayamnya... atau suka yang jualan?" pancing Sekar nakal.

"Eee... itu... hmm... aku emang suka mie ayam di sini. Sama, ya sekalian... eh, kau tahu, Ihsan itu emang orangnya nggak peka sama sekali. Ummm, tapi dia bikinin aku pedang ganda sih... ah, nggak tahu lah, ayo kita makan dulu," ucap Shafa sambil wajahnya mulai memerah.

"Ya, oke, Shafa. Eh, udah sampai aja nih ke warung. Hmm, mau nyapa nggak sama pangeran tampan?" goda Sekar.

"Seekaarr... grrhh!! Jangan gitu ahh!" balas Shafa dengan geram.

Hari itu warung terlihat ramai. Sudah ada beberapa gerai yang buka. Tempat tinggal Ihsan kini telah berubah menjadi kawasan yang cukup maju dibandingkan setahun lalu saat Ihsan pertama kali datang. Pepohonan mulai ditata dan dimanfaatkan, rumah-rumah warga dibangun dan disusun ulang, berbagai usaha bermunculan, serta transportasi umum mulai tersedia.

Kemajuan pesat ini dipicu oleh beberapa inisiatif. Pertama, penetapan nilai tukar barang berdasarkan harga beli di pasar dengan emas yang dipampang di setiap toko, memungkinkan pertukaran langsung tanpa menggunakan emas atau perak. Kedua, penetapan jalur transportasi lokal dan sistem pemesanan kendaraan pribadi lewat gawai pribadi. Ketiga, pelatihan elemen dasar secara massal oleh Ihsan. Terakhir, penerbitan media cetak dan elektronik yang dikelola bersama. Semua ini membuat interaksi antarmasyarakat makin cepat dan efektif, mendorong tumbuhnya kesadaran kolektif serta perkembangan mandiri.

Salah satu ciri unik kampung ini adalah keberadaan kincir angin di beberapa rumah, yang meski kecil, cukup untuk membangkitkan listrik rumah tangga. Ini membuat warga tidak perlu membayar listrik, sehingga bisa menggunakan penghasilan untuk hal yang lebih produktif.

"Woo... kampung kecil ini sudah banyak berubah ya," ujar Lintang siang itu, baru saja tiba di warung.

"Yow, Mas Lintang! Lama nggak jumpa!" sapa Ihsan hangat.

"Ini perbuatanmu, Ihsan!?" tanya Lintang penasaran.

"Huh!? Kenapa dari tadi orang bilang begitu? Ini kerjaan masyarakat setempat aja, Mas," jawab Ihsan.

"Yep, begitu lah. Tapi mungkin ditambah fakta bahwa mereka dilatih elemen angin olehmu," timpal Alim.

"Hu umm. Mereka bahkan mulai suka bepergian karena beberapa vimana umum yang kau beli, Alim," tambah Yusuf.

"Ehh, aku mau tambahan dana buat usaha kita, biar mereka lebih mudah jalan ke sini. Sebenarnya itu pesanan vimana Ihsan yang mau dia pakai buat jual-beli barang di area Keraton. Tapi karena makan energi dan waktu, aku saranin buat dipakai warga aja, sekalian bantu perubahan," jelas Alim.

"Oh begitu ya. Lalu kincir angin di rumah-rumah warga itu ide siapa?" tanya Yusuf.

"Hah, bukan kau yang bikin?" balas Alim.

Lihat selengkapnya