Shangkara

Ghozy Ihsasul Huda
Chapter #39

Revolusi

“Akhirnya selesai juga catatan sejarahnya, shishishi,” gumam Ihsan.

“Weleeeh, boleh nih buat bacaan,” ucap Yusuf.

“Mas Lintang kan pindah ke Kampung Kincir mulai kemarin. Kita bisa lebih sering bertemu dong, apalagi sebentar lagi mushollanya akan dibangun lagi,” kata Alim.

“Hohoo, iya, kita bisa berlatih lebih keras lagi,” timpal Yusuf.

“Ya juga, musholla akan dibangun lebih besar ya. Kita bisa menginap di tempat Kak Lintang,” ucap Ihsan.

“Bukannya aneh ya, kenapa kita nggak bikin rumah aja? Toh uang kita ada, buktinya Mas Lintang bikin rumah di sini,” ucap Yusuf.

“Hmmm, iya juga, Suf. Mana Mas Steve juga tidak bikin rumah di sini,” komentar Alim.

“Iya, mungkin karena kita hanya tinggal di sini selama bersekolah, jadinya tidak perlu bangun rumah. Lagipula tinggal di sini adalah hal yang menguntungkan mengingat kita jadi lebih dekat dengan warga,” ucap Ihsan sembari mengemasi naskahnya. “Setelah membaca cerita itu, aku merasa kayaknya banyak yang perlu diperbaiki dari negeri ini. Maksudku, perdamaian dan keadilan yang dibangun dengan rasa takut, kestabilan yang dipaksakan dengan tangan besi, inovasi teknologi yang mengorbankan banyak orang—ya, negeri ini perlu perbaikan.”

“Kalau begitu dunia ini juga perlu diperbaiki, karena keputusan yang diambil di negara ini terjadi untuk mengatasi konflik dengan dunia secara luas,” imbuh Yusuf.

“Hmm, kau benar, Yusuf. Kita bisa mulai memperkuat diri seperti Maharaja Dharmakusuma dan Rshi Bhataramuni, lalu menata ulang dunia dengan menumpas kejahatan dan kesesatan. Lalu dunia akan merasakan perlindungan dan kemakmuran,” ucap Alim.

“Kurasa akan lebih baik kalau kita terus menciptakan sebuah peningkatan keilmuan agar dunia menjadi lebih bijaksana,” ucap Yusuf.

“Lama itu, Suf. Kita perlu mengubah dunia secepatnya. Kalau dengan caramu tadi bisa jadi hanya akan membuat masyarakat jadi pasif dan tidak bisa melawan,” ucap Alim.

“Nggak sepanjang itu, Lim. Daripada idemu yang akan memicu konflik dengan dunia, coba lihat metodeku. Untuk membuat orang-orang bisa menciptakan teknologi sendiri dan menggunakannya dengan bijaksana, mereka masih bisa melawan. Kau pikir senjata nggak masuk teknologi kah?”

“Tapi modernisasi yang kau cari itu juga bisa menimbulkan konflik. Kau coba bayangkan kalau teknologi senjata yang kau buat disalahgunakan. Apa kau pikir semudah itu mengajarkan kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan bersamaan? Hhh, bagaimana menurutmu Ihsan? Mana yang bagus dari ide kami?” ucap Alim.

“Hah!? Kenapa kalian berdebat untuk itu!? Aku nggak tahu jalan pikiran kalian ke mana, tapi aku rasa membuat perubahan kecil saja sudah cukup, yang penting kita konsisten untuk melakukannya, hehe,” kata Ihsan yang membuat kedua temannya sedikit tidak puas.

“Kau tidak ingin melakukan perubahan terhadap dunia, kah, Ihsan? Kau lihat sendiri konflik yang terus terjadi. Banyak nyawa yang perlu diselamatkan, ada kebenaran yang perlu diperjuangkan,” ucap Alim.

“Ya, coba pikirkan, Ihsan. Dunia ini perlu perubahan dari kita. Dengan menyebarluaskan ilmu pengetahuan—agama, saintifik, seni, dan lain-lain—kita bisa membuat masyarakat yang optimal,” kata Yusuf.

“Entahlah, pikiranku belum sejauh kalian sih. Tapi kita sudah melakukan hal yang bagus kok. Lagipula aku lebih berpikir untuk mengembangkan diri dan orang-orang yang mau berkembang bersamaku saja. Tidak usah terlalu memaksakan diri. Nanti kalau ternyata Tuhan menginginkan diri kita untuk merombak dunia sepenuhnya, kita tinggal bergerak saja. Yang sekarang perlu kita lakukan hanya terus berusaha untuk melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan dan terus berkembang sekuat tenaga untuk jadi lebih baik,” jawab Ihsan.

“Jawaban aman lagi,” kata Alim sedikit sebal.

“Sulit sih ini, jalan yang kau ambil itu nggak punya ujung, Ihsan,” ucap Yusuf.

Lihat selengkapnya