Shangkara

Ghozy Ihsasul Huda
Chapter #40

Pedang

“Jadi Bagas, kau benar mau ke Kampung Kincir?” tanya Alim saat mereka hendak pulang.

“Ya, benar. Aku ingin mengasah kembali teknik berpedangku, tapi kali ini dengan elemen angin,” jawab Bagas.

“Kau tertarik pada elemen angin juga? Padahal kemarin kita fokus ke elemen petir,” sahut Alim.

“Dengan elemen angin, aku bisa melancarkan tebasan jarak jauh dengan lebih efisien,” kata Bagas.

“Obsesi pedangmu itu agak berlebihan, Gas,” ucap Alim, sedikit menggoda.

“Ini tradisi keluarga Lim. Kalau kita fokus pada satu teknik dan mengulanginya berkali-kali, hasilnya akan jauh lebih matang. Bahkan aku ini yang paling variatif di keluargaku. Mereka hanya belajar ilmu pedang, teknik melayang untuk manuver, dan atmasena untuk variasi serangan kombinasi. Aku sendiri sebenarnya masih pemula dalam hal berpedang,” jelas Bagas sebelum melangkah menaiki vimananya.

“Wah, begitu ya. Menarik juga. Ternyata kau sudah dianggap paling variatif,” kata Alim dengan takjub.

“Dasar keluarga menakutkan, kalau Bagas yang bisa membelah pegunungan dengan mudah masih disebut pemula, entah sehebat apa para master di keluarganya.” pikir Alim saat naik ke vimana yang segera melesat membawa dirinya menuju Kampung Kincir sekaligus menuntun Bagas di belakangnya.

Begitu sampai di Kampung Kincir, vimana Alim dan Bagas mendarat di lapangan dekat musholla. Di sana, vimana milik Steve dan Lintang sudah terparkir.

“Yow Alim, kau bawa teman baru,” sapa Lintang.

“Yoi Mas. Ini Bagas, temanku dari Rumah Vaivasvata. Bagas, ini Mas Lintang, yang satu lagi Mas Steve,” kata Alim memperkenalkan.

“Ooh, halo Mas, saya Bagas,” sapa Bagas ramah.

“Jadi, di mana Ihsan dan Yusuf? Bagas mau latihan elemen angin,” tanya Alim.

“Oh, mereka lagi di rumah baruku. Menginap selama tujuh hari ke depan,” jawab Lintang.

“Eh? Menginap? Mereka penasaran rumah baru, ya?” tanya Alim.

“Alim, musholla akan direnovasi selama tujuh hari ke depan. Kau lupa? Kita semua bagian dari proyek itu. Barang-barangmu bahkan sudah kau kemasi kemarin malam,” jelas Steve.

“Eeh, iya juga. Kenapa aku bisa lupa? Malunya,” pikir Alim.

“Hmm, kok bisa lupa rumah sendiri?” gumam Bagas heran.

“Hhh, begitulah. Sekarang malah kaget sendiri. Kalau nggak ada urusan, kalian beres-beres aja langsung ke rumah Lintang. Nggak jauh dari sini, kok,” ucap Steve agak kesal.

“Gyahahaha! Kukira ada barang yang ketinggalan, ternyata ingatannya yang ketinggalan,” ejek Lintang.

“Dah Lintang, jangan terlalu keras. Yang sewajarnya saja,” kata Steve menenangkan.

“Yasudah, kami pergi duluan. Maaf ya ganggu,” ucap Alim sambil menuju vimananya, lalu mereka pun berangkat ke rumah Lintang.

...

Sementara itu di rumah Lintang

“Hmmm... belum juga berhasil,” gumam Ihsan.

“Kau coba bikin teknik Bholenath dengan energi angin lagi ya?” tanya Yusuf.

“Iya, Suf. Tapi kok belum bisa juga, ya?” keluh Ihsan.

“Wajar. Menggabungkan teknik dan elemen itu bukan hal mudah. Apalagi teknik serumit Bholenath. Salah sedikit bisa bahaya. Aku sendiri lebih memilih fokus pada variasi elemen yang bisa kupelajari buat teknik Vidhataku nanti,” ujar Yusuf.

“Butuh waktu lama, ya?” tanya Ihsan.

“Bukan waktu yang lama, tapi lebih ke pemahaman kita. Kupikir kau sebaiknya fokus dulu belajar teknik Tantramu. Itu bisa meningkatkan kapasitas energimu. Nanti, baru kau bisa mengembangkan teknik lainnya dengan lebih lancar,” saran Yusuf.

“Benar juga... Eh, kayaknya Alim datang. Itu vimana-nya unik,” kata Ihsan sambil menunjuk langit.

“Hmm, dari desainnya kayak vimana dari Kampung Tengu, yang terkenal dengan teknik berpedangnya. Dalam sejarah, beberapa pemukiman memang fokus pada teknik tertentu. Tengu itu salah satunya,” jelas Yusuf.

“Hei, lagi apa kalian, Ihsan, Yusuf?” sapa Alim.

Lihat selengkapnya