“Hei, Sekar, gimana susunan sarung tangan mekanikmu?” tanya Yusuf sambil mendekat.
“Aku sudah tambahkan beberapa fitur baru biar serangannya lebih variatif,” jawab Sekar tanpa melepaskan pandangan dari sarung tangan di depannya.
“Beberapa waktu lalu aku lihat Ihsan dan Alim bikin busur baru, dan mereka udah mulai latihan juga. Kurasa aku perlu tingkatkan kemampuan mekanikalku,” ujar Yusuf.
“Hmmph, itu bagus,” gumam Sekar.
“Dirimu belakangan ini cuma fokus sama kehidupan di Kampung Kincir dan lupa sama kita. Ya, wajar sih kalau kamu perhatian ke saudara-saudaramu. Tapi, supaya kamu bisa terus peduli, kamu juga harus berkembang. Apalagi di sini,” lanjutnya.
“Heeei Sekar! Gimana skill menggambarku? Udah bagus belum?” sapa seorang anak dengan riang.
“Bagus, Gibran. Gambar petamu sudah cukup akurat,” kata Sekar sembari tersenyum.
“Eh, Yusuf! Lama nggak nongol di klub. Ngapain aja bro? Oh iya, gimana kabar pembuatan zirah mekanikmu? Udah efektif belum?” tanya Gibran bersemangat.
“Belum, Gibran. Aku sih dapat beberapa inspirasi selama di Kampung Kincir. Tapi aku kesulitan saat nyusun komponen, karena mikroskop yang kupunya nggak cukup jelas. Padahal udah pakai dua jenis, tapi mikroskop tipe fotografik elektron itu nggak bisa buat pengamatan langsung terus-menerus, sedangkan mikroskop cahaya belum sedetail itu,” jelas Yusuf.
“Heissshh, kamu sih nggak pernah ke sini. Coba lihat translator drone camera punyaku. Bisa zoom in dan zoom out sampai grafik partikel atomik. Ini biasa dipakai buat elemen juga. Aku masih kembangkan kendali dan akurasinya sampai bisa deteksi partikel Planck,” kata Gibran penuh semangat.
“Haaah? Gimana caranya kau bisa sampai sedetail itu?” tanya Yusuf, heran.
“Hehe, aku pakai pendekatan deteksi gelombang vibrasi cahaya, terus pewarnaan pakai cahaya tampak. Tapi kayaknya mustahil sih buat lebih kecil dari partikel atomik. Jadi aku harus ganti metode,” ucap Gibran yang terlihat agak ragu.
“Hooo, kalau gitu tipe kameramu bisa kupakai buat nyusun zirah mekanikku,” ujar Yusuf dengan semangat baru.
“Yap, bisa. Udah bisa dipakai buat bikin video juga, sih. Tapi aku nggak yakin ada yang mau nonton dokumentasi partikel. Mungkin aku juga harus optimalkan fungsi penglihatan jarak jauhnya. Kalau berhasil, akses terhadap netra yang biasanya harus dilatih bisa dipakai secara luas. Modelnya sejauh ini masih pakai rsinetra,” jelas Gibran.
“Bukankah kalau begitu teknik mata jadi kurang relevan?” komentar Sekar.
“Enggak gitu, Sekar, astaga. Penggunaan netra masih penting kok. Masih ada bonus lain dan lebih mudah dipakai. Aku aja masih bisa bilang netra, apalagi yang terlatih, jauh lebih canggih daripada semua alatku. Namanya juga buatan Tuhan. Mana bisa aku saingi? Mata biasa aja udah bagus, perawatannya gampang, detailnya juga luar biasa. Apalagi kalau dialiri energi, ditambah bisa ditransformasikan ke salah satu dari enam tipe netra. Lagipula, alatku terinspirasi dari rsinetra karena itu yang paling mudah diamati. Skill rsinetra aja masih di bawah satyanetra, bhaktanetra, apalagi lokanetra,” jelas Gibran panjang lebar.
“Hmm, kalau begitu kenapa nggak latih teknik mata dulu, Yusuf?” tanya Sekar.