"Shifa, kau tahu sebentar lagi kita akan mempelajari titik cakra keempat yang berhubungan dengan perasaan, anahata," kata Shafa sembari menatap kolam ikan koi di kontrakannya.
"Yep, kau benar. Dengan memahami titik cakra itu, aku bisa benar-benar menggunakan seluruh sel tubuhku untuk bertarung, membuat kita awet muda, bahkan semakin cantik dan tentunya semakin kuat," ucap Shifa penuh semangat.
"Hufff... iya, kau benar. Tapi kita harus benar-benar bisa merasakan setiap sel dalam tubuh kita dulu, kan?" ujar Shafa, suaranya terdengar sedikit murung.
"Eh, kau kenapa, Shafa?" tanya Shifa dengan khawatir.
"Entahlah... Baru saja aku menerima sepasang pedang dari Ihsan. Kini orang tuamu juga ingin menjodohkan dirimu dengannya. Bahkan kalau kau dan Ihsan tidak menginginkannya, apakah itu cukup untuk menghentikan keluarga kerajaan?" keluh Shafa, semakin larut dalam kesedihan hingga naranetranya menyala terang.
"Hmm... kalau soal itu aku juga tidak tahu. Tapi Ihsan juga tidak ingin menerima tawaran dari keluargaku. Setidaknya untuk sekarang. Mungkin dia lebih suka padamu. Kau kan cantik sekali, Shafa. Bahkan keluargaku kaget saat melihatmu," ujar Shifa berusaha menghibur.
"Ya, kau benar. Ini memang anugerah bagiku. Tapi Ihsan tidak tahu apa itu cantik. Kurasa semua ini justru hanya akan membuatku dikejar-kejar orang lain dan menjauh dari lelaki yang kusuka," Shafa menghela napasnya dalam-dalam.
"Kau pasti bisa. Aku juga sebenarnya lebih menyukai orang lain daripada Ihsan kok. Meskipun mungkin kalau terpaksa harus menuruti keinginan ayahku... yah, Ihsan itu lucu juga, sih, hihihi," kata Shifa sambil tersenyum kecil.
Perkataan itu malah membuat Shafa semakin sedih dan putus asa.
"Hiks... hiks... jadi kau juga mau aja? Ya sudahlah, mungkin memang aku ditakdirkan untuk sendiri," kata Shafa sambil menangis.
"Eh, aku tidak bermaksud begitu. Maaf, Shafa... hei..." Shifa mencoba menenangkannya, namun usahanya gagal.
Hujan deras mulai mengguyur, tapi Shafa tetap tak beranjak dari tepi kolam. Ia terus menangis.
"Shafa, kalau begitu kau jangan menangis. Kau harus menjadi kuat. Cukup kuat untuk memilih cintamu sendiri dan tidak tunduk pada keputusan orang lain yang tidak kau inginkan," kata Shifa menyemangati.
"Ya... kau benar, Shifa. Tidak ada lagi pilihan. Kalau memang aku ingin perasaanku tersampaikan, aku harus menjadi kuat. Cukup kuat hingga tak ada satu orang pun yang bisa menghalangi perasaanku, kecuali hukum Tuhan dan perasaannya padaku. Aku harus membuktikan bahwa aku adalah wanita yang dia inginkan," ucap Shafa, penuh semangat membara.
Amarah dan dendam karena merasa dunia terlalu kejam padanya memancar dari sorot matanya. Mata Shafa menyala, tangannya memanas, dan tetesan hujan yang menyentuh kulitnya langsung menguap, seperti keinginannya untuk menguapkan air mata yang telah jatuh karena dunia yang mengganggu perasaannya.
...
Sementara itu di rumah Lintang.
"Hacih... haaah... dingin sekali! Mas Lintang, kita sedang memancing sambil latihan ketahanan diri di sini ya? Brrr..." ucap Ihsan sambil menggigil.
"Yap, kau benar. Memancing akan melatih fokus, dan suhu dingin ini akan menempa tubuhmu," jawab Lintang dengan penuh semangat.
"Tapi mas, ini kan kutub. Bukankah lebih baik kita pakai jaket tebal? Masa hanya pakai kaus begini," tanya Yusuf tak percaya.
"Hu umm... nggak mau bertahap aja kah?" imbuh Alim.
"Haha, dasar lemah! Kalian dingin begini aja sudah tak kuat, hahaha. Lebih baik kita fokus memancing lagi. Sebentar lagi ikan yang kita cari mungkin akan menggigit kail pancing kita," ujar Lintang sambil menahan tawa.
"Lemah katamu? Kau tidak sadar kalau kita membeku di sini? Hrrrr... acara tantangan memancingmu ini aneh sekali, Lintang!" bentak Steve, yang jelas-jelas tak terbiasa dengan dinginnya suhu kutub.
"Maaf... aku lupa daerah asalmu dari gurun," kata Lintang dengan nada sedikit murung.
"Tapi tak apa. Ini hari terakhir kita menginap di sini, jadi harus meriah. Meski nanti tetap ketemu mas Lintang juga, sih. Hehehe," ucap Ihsan dengan penuh semangat.