Shangkara

Ghozy Ihsasul Huda
Chapter #43

Selendang

Beberapa bulan telah berlalu sejak renovasi musholla, dan kini tiba hari pertama bagi Ihsan dan kawan-kawan untuk mempelajari cakra ahanata.

"Hmmm... mengalirkan energi dalam satuan sel, aktivasi sel, manfaat sel darah, tipe OO minus bisa didonorkan pada semua orang," gumam Alim sambil berjalan menuju kelas.

Kali ini, untuk pelajaran ahanata, Rumah Vaivasvata menerapkan metode praktik kesehatan sebagai pendekatan utama. Materinya mencakup keterampilan diagnosis, penyembuhan luka, operasi, dan penghancuran terarah terhadap penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau sel kanker. Metode ini telah dikenal sebagai pendekatan yang cukup efektif selama puluhan tahun, dan menjadi fondasi dalam pembelajaran ahanata.

Meskipun setiap rumah belajar memiliki metode khusus dalam pengembangan cakra ini, Rumah Vaivasvata terbukti mampu mengajarkan pendekatan paling rinci dan efektif dalam memahami serta menguasai cakra ahanata.

Saat memasuki kelas, Alim tertegun melihat bahwa sang guru telah hadir lebih awal. Wajah pria itu tampak familiar, seolah-olah tersimpan dalam ingatannya sejak lama.

"Bapak? Apakah bapak orang yang pernah menyelamatkan kami saat festival bulan purnama dahulu?" tanya Alim, bingung namun penuh harap.

Pria itu menoleh sambil tersenyum. "Oh, jadi kau salah satu anak yang ada di sana, ya? Benar, aku guru baru di sini. Aku mendapat rekomendasi dari kerajaan Mataram untuk mengajar cakra Ahanata. Ini adalah kelas pertamaku, mohon bantuannya ya, mas... siapa namamu?"

"Oh, saya Alim. Kalau bapak siapa? Maaf, saya belum sempat mengenal sebelumnya," jawab Alim.

"Namaku Seno. Salam kenal ya," ujar pria itu ramah. Ia lalu menunjuk ke arah belakang Alim. "Eh, di belakangmu ada tuan putri. Sepertinya ingin lewat."

"Eh, Shifa. Kau datang pagi sekali hari ini, bahkan saat aku baru selesai mengantar makanan ke kantin," sapa Alim.

"Aku datang bersama Pak Seno. Jadi, sempat jalan-jalan ke taman dulu bersama para abdi kinasih," jawab Shifa santai.

"Oh, begitu ya," Alim mengangguk.

Tiba-tiba, suara langkah berat menggema dari lorong.

"Tak, tak, tak, tak."

Dari arah pintu, muncul sesosok pendekar mengenakan zirah berat dan topeng besi menutupi wajahnya.

"Heeeii kalian! Lama tidak bertemu!" serunya sambil melepas topeng.

"Bagas!?" seru Alim dan Shifa bersamaan, terkejut melihat sosok itu.

"Ngapain pakai zirah perang segala? Itu berat, tahu! Dan sama sekali gak nyambung sama pelajaran!" tegur Shifa.

Alim hanya bisa memandangi sambil berpikir, "Kadang aku lupa kalau anak ini ketua kelas."

Pak Seno menyambut dengan tenang. "Oh, jadi ini Bagas, ya? Aku dengar kamu ketua kelas di sini."

"Yap. Kelas ini butuh semangat lebih. Kita harus berjuang keras untuk maju. Aku pakai zirah berat ini buat melatih tubuhku," kata Bagas dengan penuh kesungguhan.

"Baiklah, kau boleh duduk," ucap Seno lembut.

Lihat selengkapnya