"Ngapain juga kita ke Kusumapura lagi, Ihsan? Kau lupa kejadian waktu itu?" tanya Alim dengan nada ragu.
"Hmm, kau pasti tau, Alim. Ini pasti ulahnya lagi," sahut Yusuf sambil menghela napas panjang.
"Eh he he... maaf ya. Aku cuma lihat ada jalur dagang yang menarik di sini. Mereka berjualan, hmm, ubi yang enak banget, jadi aku kepikiran buat jualan itu. Lagipula, aku mau praktikkan skill memasakku yang baru," ucap Ihsan dengan senyum santai.
"Beberapa hari latihan masak, kau sudah mulai bikin menu-menu baru. Eh, tapi kalau kita ketemu lagi sama wanita-wanita itu, kita harus siap lawan balik sih," komentar Alim, setengah bercanda tapi dengan nada serius.
"Mendingan jangan cari masalah deh. Kita hindari saja kalau bisa," sahut Yusuf bijak.
"Kalau memang ketemu... ya sudahlah," ucap Alim, akhirnya pasrah juga.
Kali ini mereka bertiga memutuskan berangkat ke Kusumapura tanpa rombongan lain, namun alih-alih menuju kawasan kota, mereka langsung menuju daerah pedesaan. Tujuannya jelas: mencari petani ubi. Ihsan punya ide untuk membuat camilan berbahan dasar ubi sebagai menu baru untuk warung. Alasannya sederhana, harganya murah, cara membuatnya tidak sulit, dan rasanya pun mudah diterima oleh banyak orang, cocok dijadikan cemilan harian.
Dari atas sebuah tebing, seorang wanita memperhatikan pergerakan mereka dengan seksama.
"Anak-anak itu kelihatannya dari Manasasagara. Apa yang mereka cari di tempat seperti ini?" gumamnya, mata tajam menelusuri jejak langkah Ihsan, Alim, dan Yusuf.
"Entahlah, Guru. Kurasa mereka cuma jalan-jalan saja," sahut seseorang yang berdiri di sampingnya, suara lembut tapi penuh kewaspadaan.
...
Saat itu Ihsan sibuk mencoba berbagai jenis ubi lokal yang menurutnya enak, tapi tentu saja bukan hanya soal mencicip. Ia juga harus menemui beberapa petani kecil di daerah itu agar mereka bersedia mengirimkan hasil panennya ke Mataram. Ihsan memang sengaja mencari petani kecil, karena hal itu mengingatkannya pada kampung halamannya di Tirtawangi. Setelah cukup lama berkeliling dan akhirnya berhasil membuat beberapa kesepakatan dagang, suasana santai dan rasa penasarannya yang khas mulai kembali muncul.
"Eh Ihsan, ini kan urusan kita di sini udah selesai, kapan kita... Hei, Ihsan, kenapa senyum-senyum sendiri? Woi!" seru Alim, cemas melihat sikap Ihsan yang tiba-tiba seperti melamun.
"Ahhh, sialan, dia mulai lagi bertingkah aneh. Pasti pikirannya ke mana-mana. Mau apa lagi sih anak ini," pikir Alim sambil mengerutkan dahi.
"Heh, Ihsan, kau mau naik ke atas tebing itu?" tanya Yusuf yang tiba-tiba menyadari arah pandang Ihsan.
"Hu umm," Ihsan mengangguk pelan.
"Ya, gitu dong. Aku juga pengin ke atas. Kayaknya warga sekitar sini memang nggak pernah naik ke sana. Padahal tempatnya kelihatan sangat asri," kata Yusuf dengan nada bersemangat.
"Eh he he... kau benar, Yusuf. Atau mungkin saja mereka memang nggak mau ke atas karena... hmm, ada seseorang yang tinggal di sana," ucap Ihsan sambil menyeringai.
"Heeei, jangan cari masalah! Kau lupa apa yang terjadi terakhir kali kita ke Kusumapura... Hei... Heeeiii!" seru Alim panik melihat Ihsan dan Yusuf yang sudah berdiri dan bersiap-siap untuk pergi ke arah tebing.
"Udahlah, ikutan aja, Alim. Seru kok!" ajak Yusuf sambil melangkah.
"Hhhh... padahal tadi kamu yang bilang harus menghindari masalah," sahut Alim dengan nada sebal.
"Pikiranku berubah. Kita perlu eksplorasi tempat ini. Siapa tahu aku dapat inspirasi buat karyaku," balas Yusuf sambil tersenyum.
"Baguslah kalau begitu... Aku ikutan, deh," kata Alim yang akhirnya ikut juga.
Mereka bertiga pun bersiap dan terbang menuju tebing itu, penasaran ingin tahu apa sebenarnya yang ada di atas sana.
Sesampainya di atas tebing, Ihsan, Alim, dan Yusuf disambut pemandangan pepohonan besar yang menjulang serta bunga-bunga indah yang tersebar seperti permadani warna-warni.
"Wooahh, bagus sekali tempat ini. Ini bunga-bunga yang unik dan tidak ada di tempat lain. Hmm, dan pohon ini juga tidak umum di daerah Sahasradwipa. Tapi senang bisa melihatnya," kata Ihsan.
"Ya, bagus sekali. Seperti ada yang menata hutan ini. Lihat, ada jalan setapak juga dari batu," ujar Alim.
"Ehh, kok begini ya... Ini kan genom tumbuhan langka yang sudah hampir punah. Usianya juga sudah tua. Bukannya ini kayu yang digunakan untuk konstruksi di keraton dan hanya ditanam di area keraton untuk perbaikan? Bagaimana bisa pohon seperti ini ditanam jauh dari keraton? Apa yang terjadi di sini... Ini juga bukan bunga-bunga biasa. Ini bunga hias yang mahal. Tempat ini terlalu teratur untuk hutan yang sangat lebat," pikir Yusuf dalam hati.
"Eh Ihsan, Alim, kita turun aja yok," ajak Yusuf.
"Lah, bukannya tadi kau mau ke atas?" tanya Alim.
"Hei, lihat beringin keraton yang sangat besar itu! Ayo kita ke sana!" seru Ihsan antusias.
"Wei, Ihsan, kau tidak heran ada beringin keraton di tebing ini? Bukannya beringin ini hanya ditanam dan dirawat oleh keluarga kerajaan saja?" tanya Yusuf dengan nada curiga.
"Eh, kau benar juga, Suf. Aneh juga. Mana orang-orang di sini tidak ada yang mau mengambil. Mungkin di sini tidak langka," sahut Alim.
"Alahmak, kalian tidak curiga ada sesuatu?" tanya Yusuf lagi, kini lebih serius.