Shangkara

Ghozy Ihsasul Huda
Chapter #50

Astra

Waktu liburan tinggal seminggu, Ihsan dan kawan-kawan sudah kembali ke Kampung Kincir. Sedikit yang mereka tahu, selain bisnis mereka berkembang pesat berkat laporan dari Lina, ternyata banyak hal terjadi di kampung itu selama mereka pergi, termasuk munculnya kelompok preman dan maraknya peredaran minuman keras di wilayah Kampung Kincir dan sekitarnya.

"Kenapa baru-baru ini banyak sekali tindak kejahatan?" tanya Fio.

"Iya, Fio. Selama Mas Ihsan dan teman-temannya pergi, banyak hal buruk terjadi di kampung ini," balas Lina yang sudah merindukan penolong mereka.

Saat itu, seorang perampok mengincar Fio. Ia cukup sigap merespon dengan pisau angin di tangannya, namun tiba-tiba sebuah tebasan angin dari langit membelah perut perampok itu. Fio dan Lina sontak syok melihatnya.

"Hhhhhh, perampok sialan. Ngapain sebenarnya dia di sini," ucap seorang laki-laki yang turun dari langit, diikuti temannya yang mendarat di sebelahnya.

"Hhhh, kau ini selalu saja. Ini dekat musholla, tahu," ucap temannya.

"Maaf, Cak. Lagian tadi dia menyerang kita yang sedang terbang rendah. Aku reflek bertahan saja," ucap lelaki pertama.

"Terserah kaulah, Ihsan. Bersihkan mayatnya, nanti kita bawa ke kepolisian," ucap lelaki kedua.

"Iya, Cak Alim, kubersihkan kok," sahut Ihsan dengan nada sedikit kesal.

"Mas Ihsan, Mas Alim, kalian sudah tiba. Hmmm, aku kangen," ucap Lina.

"Kenapa setiap kali datang selalu heboh sih," tanya Fio.

"Ihsan memang spontan begitu, kan. Masa kalian nggak tahu," ucap Alim.

"Eh, Cak, orang ini masih bernapas. Ini aku lagi kasih pertolongan pertama," teriak Ihsan.

"Eh, masih hidup. Sini, kujahit," ucap Alim yang langsung datang dan menyembuhkan luka perampok itu dengan skill medisnya.

"Hmm, bertahan nih. Bisa jadi bagian perusahaan," ucap Ihsan.

"Hmmm, terus tadi kenapa asal tebas saja?" tanya Alim.

"Hmm, gimana ya... kebiasaan make sih, Cak," jawab Ihsan santai.

Si perampok mulai sadar, lalu ketakutan melihat Ihsan dan Alim yang cukup terkenal di Kampung Kincir karena banyak hal yang sudah mereka lakukan untuk kampung itu.

"Hhhh, siapa namamu, Mas?" tanya Alim.

"Eeee... saya... eeee... maaf, Mas. Saya nggak bermaksud menyerang kalian, saya eeeee," ucap perampok itu.

"Ahhh, lama," ucap Alim sambil membungkam mulut perampok itu dengan kain perban.

"Hmmm mencoba berbohong, sayang sekali. Kukira potensial, ternyata perampok biasa. Pantas saja dia menyerang vimana, berniat membunuh untuk mengambil harta korban. Bukan tipe perampok yang bisa diubah," ucap Ihsan.

"Kubawa ke polisi ya, Ihsan," kata Alim.

"Yang cepat, Cak. Kita harus siap-siap buat jalan-jalan," ucap Ihsan.

"Ghhhk... dia ingat jalan-jalan bersama Mas Lintang itu. Sialan, entah apa yang akan terjadi kali ini," pikir Alim.

"Eh iya, eee... Ihsan," ucap Alim, tapi melihat Ihsan sudah sibuk menelpon Lintang.

"Hmmmhhh... suka-suka dia lah," pikir Alim sambil melesat ke kantor polisi terdekat.

Sementara Ihsan asyik menelpon Lintang, Yusuf datang membawa beberapa anak baru yang baru masuk Manasasagara hari itu.

"Ihsaaan! Ini anak-anak yang kau bawa, kok malah aku yang mengurus," ucap Yusuf kesal.

"Eh, Yusuf, terima kasih ya udah bantu. Hehe, maaf nih. Oiya, seminggu lagi kita sudah masuk kan?" tanya Ihsan.

"Ya, begitulah. Hmmmh… Hei Lina, Fio, kalian kelihatan kaget. Ada apa ini? Hmm, bisa bantu ngurus anak-anak ini nggak?" pinta Yusuf.

"Eh, Mas Yusuf, mana? Mas biar sama aku aja," ucap Fio, tampak mengalihkan perhatian dari pemandangan mengagetkan barusan.

"Hmmm, gimana ya Mas Yusuf... baru saja Mas Ihsan eee... menebas seorang perampok dengan pisau anginnya," ucap Lina yang masih sedikit takut.

"Hmmm... mulai lagi anak itu. Tapi kalian nggak apa-apa kan?" ucap Yusuf, berusaha menenangkan Lina.

Lihat selengkapnya