Sepulang sekolah sebelum liburan.
"Ihsan, setelah ini apalagi yang akan kamu lakukan?" tanya Shafa.
"Entahlah, Shafa. Aku tidak mengerti apa yang akan terjadi. Aku cuma berjalan mengikuti takdir yang diberikan Tuhan," ucap Ihsan.
"Bukankah dirimu punya sebuah tujuan, Ihsan? Kurasa harusnya kau punya. Pasti ada alasan kenapa orang-orang sekarang mengakui, mengenal, dan bahkan menghormatimu," ucap Shafa.
"Hhh... aku tidak tahu, Shafa. Tujuanku sama seperti banyak orang, ingin jadi manusia yang berguna. Aku sama sekali tidak merencanakan apa yang akan kulakukan. Memangnya apa artinya pengakuan? Apa artinya terkenal? Apa artinya dihormati? Aku tidak paham. Yang kutahu hanyalah apa yang kudapatkan, apa yang kupelajari, dan apa yang kuberikan," ucap Ihsan.
"Hei, Ihsan, besok sudah liburan. Aku tahu kamu punya rencana, Ihsan, energi tantra, ya? Aku juga tertarik mempelajarinya. Eh, menurutmu aku cocok buat masuk Vishkanya nggak?" tanya Shafa.
"Aku nggak tahu, Shafa. Kalau kamu mau melakukannya, lakukan saja. Kalau kamu mau, kamu akan berusaha lebih untuk itu," ucap Ihsan.
"Yaaa begitulah... aku kepikiran untuk masuk Vishkanya setelah Sekar tiba-tiba ikut seleksi. Liburan ini dia akan seleksi. Kalau aku mau ikut, aku bisa ikut seleksi semester depan," ucap Shafa.
"Kenapa bertanya padaku? Kamu pemimpinnya di sini. Keputusannya ada di tanganmu," ucap Ihsan.
"Aku cuma ketua kelas saja, Ihsan. Aku juga perlu pendapat orang lain. Kurasa dirimu cukup pandai mengambil keputusan karena terbiasa dengan bisnismu," kata Shafa.
"Hah? Aku tidak membicarakan posisimu sebagai ketua kelas, tapi bagaimana caramu memimpin dirimu sendiri. Udah ya, aku pulang dulu," ucap Ihsan.
"Eh, Ihsan, tunggu! Kamu belum menjawab pertanyaanku. Aku cocok masuk Vishkanya nggak?" tanya Shafa.
"Oh, kau mau jawabanku? Hmm... menurutku cocok aja. Udah ya, aku pergi dulu. Sampai jumpa lagi, Shafa. Aku mau liburan dulu. Eh, jangan lama-lama berdiri di gerbang, nanti masuk angin," ucap Ihsan sembari terbang pergi meninggalkan Shafa sendiri di gerbang masuk rumah Indra Savarni.
"Ihsan, kau terasa begitu dekat tapi juga sangat jauh. Entah kapan kiranya engkau bisa memahamiku," pikir Shafa sambil memegang erat selendang yang melingkar di lehernya. Tanpa sadar, air mata menetes dari pipinya yang berpendar seperti rembulan di malam hari.
...
Sesampainya di musholla, Ihsan sudah ditunggu oleh Alim, Yusuf, Steve, dan Lintang yang ingin jalan-jalan.
"Wei, Ihsan, lama banget," ejek Yusuf.
"Maaf, tadi aku berbincang sebentar dengan Shafa. Dia mau gabung Vishkanya katanya," ucap Ihsan.
"Heeeh, Shafa lagi. Istimewa banget hubunganmu dengannya," ucap Lintang.
"Ya mau gimana, dia ketua kelas kan. Mau ngajak diskusi ya udah kuladeni. Kukira banyak orang tadi, ternyata hanya berdua," kata Ihsan.
"Udah-udah, ini mau lanjut jalan-jalan kan? Aku sudah siapkan banyak barang nih," ucap Alim.
"Aku juga udah siapin beberapa alat untuk berlatih," ucap Steve.
"Baguslah, ayo kita jalan-jalan," ucap Ihsan yang sangat bersemangat untuk berangkat jalan-jalan.
Hari itu mereka ingin melakukan beberapa perjalanan untuk refreshing dan sekalian mencari wilayah usaha yang baru.
...
Semasa perjalanan.
"Oi Ihsan, lagi ngapain?" tanya Alim.
"Bikin bendera cak buat grup Kailash kita, hehe," ucap Ihsan.
"Heeeh, itu kan cuma tiga garis yang memiliki goresan merah di tengah-tengah," kata Yusuf.
"Ya begitulah, semakin simpel semakin bagus. Asalkan bisa dikenali, bakal bagus aja sih," jawab Ihsan sembari menyelesaikan gambar bendera miliknya.
"Hmm, itu lumayan bagus sih kalau untuk logo. Kau benar sih, semakin simpel semakin bagus. Eh, kok warna merahnya seperti itu?" ucap Steve.
"Bukannya itu warna merah dari darah?" ucap Lintang.
"Iyap, ini memang darahku," ucap Ihsan dengan riang sambil memperlihatkan jempolnya yang terluka.
"Mikir apa kau sampai menggunakan darahmu sendiri buat mewarnai bendera itu?" tanya Alim.