"Ihsan, kamu ada waktu nanti," tanya Shafa.
"Aku ada latihan sih nanti sore, aku izin dulu ke teman-temanku kalau penting," jawab Ihsan.
"Ayahku mau bicara denganmu," ucap Shafa.
"Hah, ayahmu mau berbicara denganku? Ada urusan apa ayahmu denganku, Shafa?" tanya Ihsan keheranan.
"Aku tidak paham sih, Ihsan, tapi kukira urusan bisnis," ucap Shafa.
"Baiklah, aku akan meluangkan waktu. Eh, bukannya ayahmu itu seorang seniman? Apa urusannya dengan bisnis?" tanya Ihsan.
"Ayahku juga seorang pebisnis sepertimu, Ihsan, bedanya dia bergerak di bidang tekstil dan transportasi," ucap Shafa.
"Menarik. Sampaikan pada ayahmu kalau aku akan menemuinya nanti sore," ucap Ihsan dengan senyuman riang.
Sesaat kemudian Pak Hamzah memasuki ruang kelas, diikuti oleh anak-anak di kelasnya yang ternyata mengikuti Pak Hamzah ke mana-mana.
"Wah wah wah, ngomongin apa nih Ihsan, Shafa? Kalian kan belum boleh berduaan gini," ucap Pak Hamzah.
"Hah? Kami berdua memang datang sepagi itu ke sekolah. Aku mengantar makanan ke kantin, dan Shafa... eee... dia ketua kelas yang perlu mencontohkan hal yang baik pada teman-teman," jawab Ihsan.
"Tapi kan tidak seharusnya kalian bicara sedekat itu," balas Pak Hamzah.
"Urusan bisnis, Pak. Amanah dari ayah saya untuk menyampaikan ke Mas Ihsan," ujar Shafa lalu langsung beranjak menuju tempat duduknya.
"Oh begitu ya, baiklah kelas akan segera saya mulai. Saya harap kalian sudah sedikit lebih berlatih tentang cakra ajna sejak seminggu lalu, karena saya akan mengetes skill kalian hari ini," kata Pak Hamzah.
"Ihsan, mau sampai kapan dirimu tidak bisa merasakan penderitaan dalam hatiku yang selalu merindukan berbicara denganmu? Kuharap engkau bisa akrab dengan ayahku," pikir Shafa sambil menatap Ihsan dalam-dalam, sampai ia tak menyadari bahwa dirinya dipanggil menggunakan cakra ajna oleh Pak Hamzah.
"Halo Mbak Shafa, ayo maju," ucap Pak Hamzah sembari mengetuk meja Shafa.
Shafa pun maju mempraktikkan skill perubahannya mulai dari teknik mata ketiga, perubahan jumlah tangan, pemanjangan kuku, pendewasaan, dan lain-lain yang membuat teman-teman mereka kagum karena skill Shafa yang memang sangat baik. Namun tetap saja Ihsan terlihat biasa saja.
"Hhh, apa yang bisa membuatmu kagum, Ihsan?" pikir Shafa.
"Eh Ihsan, kau kayak biasa saja lihat skill Shafa, kayaknya kau juga menguasai perubahan ya. Bapak dengar dari Pak Arya bahwa kamu pemanah terbaik kemarin. Hari ini coba perlihatkan teknikmu memakai transformasi. Shafa, kau boleh duduk, Nak," kata Pak Hamzah meminta Ihsan maju ke depan.
Ihsan pun menuju mimbar kelas dan mempraktikkan skillnya. Ia dengan mudah menggunakan mata ketiga, empat tangan, bahkan pendewasaan diri serta perubahan bentuk busananya. Namun tiba-tiba Ihsan mulai mimisan lagi dan terjatuh karena beban tubuh yang dia rasakan.
“Ihsaaan!” pekik Shafa, langsung berdiri dan mengelap darah dari hidung Ihsan.
“Bagaimana caranya kok bisa sampai mimisan, Ihsan?” tanya Pak Hamzah.
“Aku memaksakan diriku lagi, Pak Hamzah. Energiku memang masih terlalu kecil untuk pengubahan wujud dan fungsinya, tapi tenang saja, Pak. Aku sudah mengembangkan sistem penyembuhan otomatis dengan merombak cara kerja energiku, serta memperbaiki sistem operasi energi level seluler agar kekuatanku tetap relevan di kelas ini,” jawab Ihsan.
“Jadi begitu ya, Ihsan. Bapak tidak mengerti sejauh apa dirimu harus melangkah hanya untuk bisa setidaknya merasa pantas ada di sini. Tidak biasanya penggunaan ajna sampai membebani tubuh seseorang hingga mimisan. Tapi bapak rasa otakmu mengalami pendarahan karena terlalu sering mengotak-atik fungsi tubuhmu,” kata Pak Hamzah.