Sembilan bulan telah berlalu semenjak hari kelulusan Steve dan Lintang, kini giliran tiga adik mereka menempuh ujian. Yusuf sudah berdiri di teras musholla, menatap tempat itu yang kini tampak rapi dan siap ditinggalkan. Ihsan sebelumnya telah menyiapkan beberapa anak untuk menggantikan mereka menjaga musholla, bahkan memberi mereka gaji serta pekerjaan. Alim membuat jadwal piket rutin dan membantu Ihsan membangun lumbung makanan serta menyediakan bibit untuk bisnis para penjaga musholla yang baru. Yusuf sendiri baru saja menyelesaikan masalah elektronik di sana dan mendirikan sebuah perpustakaan agar musholla tetap ramai, mengingat orang-orang sudah sering berlalu-lalang dan berjualan makanan serta minuman di sekitar tempat itu.
Dari sebuah musholla kecil, Ihsan, Alim, dan Yusuf menjadikannya pusat peradaban yang dikelilingi cendekiawan, pejabat, pedagang, dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Mereka bertiga melangkah keluar sambil mengenang masa-masa yang pernah mereka lalui.
“Ihsan, Alim, kalian masih ingat dulu mas Steve menampung kita di sini dan minum kopi bersama?” ucap Yusuf.
“Lalu kita bertiga dikalahkan seekor anjing penjaga rumah biasa karena durian yang dibawa Ihsan,” sambung Alim.
“Ehehehe, masih ingat aja kau, cak. Dulu kadang mas Lintang datang membawa daging buruan untuk kita makan. Eh, kayaknya dia yang akan menjemput kita sebentar lagi. Vimana-vimana milik kita juga sudah kita hibahkan untuk pengurus baru,” sahut Ihsan.
“Hoooooiiiii Ihsan, Alim, Yusuf, ngapain berdiri di situ, ayo naiiik!” teriak Lintang yang tiba menjemput mereka, ditemani dua rekannya, Rasha dan Bowo. Kedua sahabat baru itu ikut bergabung karena ingin membangun wilayah kota Mandaraka yang kini semakin makmur setelah menjalin koneksi dengan kota Amritakamandalu, pusat bisnis Kailash, dan kota Kaustubamani yang memiliki keraton Kartasura penuh emas. Meski kini pusat ekonomi telah bergeser ke Amritakamandalu, terutama di kampung Kincir, musholla inilah yang menjadi awal pusat peradaban.
Lintang sendiri yang datang untuk menjemput ketiga adiknya—tiga orang yang telah mengubah musholla kecil itu menjadi penuh cahaya, emas, dan permata. Merekalah harta paling berharga di kampung itu. Bahkan ketika mereka hendak berangkat pagi buta, masyarakat sudah berbaris di hadapan mereka, duduk bersila memberi hormat.
Saat itu, Anas, Fio, dan Lina pun menyempatkan hadir, memberi penghormatan pada ketiga tuan muda mereka.
“Raden mas Ihsan, mas Alim, mas Yusuf, terima kasih untuk semua perbuatan kalian di sini. Kami memberikan hormat kami pada kalian, wahai raden mas yang agung. Bagimu mas Yusuf, terima kasih untuk inovasi yang kau berikan. Untukmu mas Alim, terima kasih karena dengan sabar membantu kami merawat tanah. Dan kepada raden mas Ihsan, terima kasih untuk segalanya. Terimalah hormat kami, wahai Trikumara. Jaga diri kalian. Mas Lintang, tolong jaga mereka,” ucap Anas, diikuti seluruh orang yang menundukkan kepala mereka kepada ketiga anak yang akan menjalani ujian itu.
“Sama-sama kalian semua, semoga kalian bisa tetap berkarya meskipun kami sudah tidak membersamai kalian,” ucap Yusuf sembari melambaikan tangan dan berjalan menuju vimana Lintang.
“Terimakasih karena sudah menerima kita selama ini,” ucap Alim yang sedikit sedih meninggalkan orang-orang itu.
“Lebay,” celetuk Ihsan yang mulai risih dengan penghormatan berlebihan mereka.
“Hahaha terserah kamu lah mas Ihsan,” ucap Andre yang diikuti para warga yang berusaha mengikhlaskan kepergian penolong mereka.
“Oi Ihsan, yang bener aja kau, mereka susah-susah berkumpul untuk mengantar kita malah kau bilang lebay,” bisik Alim.
“Udahlah cak, emangnya kita ngapain sih sampai mereka begitu,” ucap Ihsan.
“Udahlah, minimal pamitan yang baik,” pinta Alim.
“Hhh baiklah, daaaah temen-temen,” ucap Ihsan pada semua orang itu sembari berjalan menuju vimana Lintang bersama Alim.
“Semoga Tuhan selalu memberkatimu wahai Shangkara,” ucap orang-orang itu memberikan salam perpisahan pada Ihsan dengan berbagai emosi mereka. Banyak yang sedih, ada yang senang karena Ihsan akan lulus dari sekolah, tapi satu hal yang pasti mereka mendoakan yang terbaik untuk penolong mereka itu.
Vimana Lintang berderu mengantarkan mereka ke rumah belajar masing-masing, yang pertama turun adalah Yusuf di rumah Swayambu.