Beberapa waktu setelah pemberantasan para pengguna tantra liar di Tirtawangi, Ihsan dan kawan-kawan melakukan beberapa perombakan di Tirtawangi, termasuk membangun bermacam pabrik dan pasar di mana-mana. Hal ini menarik para pebisnis dari luar Tirtawangi untuk mulai memasuki wilayah yang mulai terlihat sangat potensial, terutama para pedagang yang ingin memasuki kerajaan Vijayadwipa yang kini mulai melirik Tirtawangi dan singgah sementara. Hal ini ditambah dengan proyek besar Ihsan dan Alim untuk membuat bandara persinggahan karena Ihsan ingin pushpaka vimana miliknya bisa diparkirkan. Untungnya, Alim berhasil membuatkan alasan dibangunnya bandara pushpaka vimana. Bagas, Rio, Shafa, dan Shifa juga masih tinggal di sana untuk membersihkan sisa-sisa pengguna tantra liar yang juga mereka gunakan untuk berlatih.
"Ihsan, maafkan aku berburuk sangka padamu, kukira kau mencoba memanfaatkan kami untuk menaklukkan wilayah strategis untukmu, tapi kenyataannya kau juga mempersilahkan aku dan keluargaku membangun pabrik pengalengan ikan di Mauryancara dan bahkan mempromosikannya," ucap Rio.
"Anggapanmu bahwa aku memanfaatkan kalian untuk menaklukkan wilayah strategis itu tidak sepenuhnya salah. Kenyataannya, dengan itu aku bisa memperluas bisnis di Tirtawangi," ucap Ihsan.
"Tapi niatmu hanya membantu orang-orang di sini mencari mata pencaharian," ucap Rio.
"Hhh, kalau ada orang yang berfokus menyelesaikan masalah itu adalah Cak Alim, bukan diriku. Kenyataannya, diriku memang ingin membantu orang lain tapi selalu juga memanfaatkan momentum itu untuk mendapatkan lebih banyak keuntungan," ucap Ihsan sambil berdiri untuk menuju ke tempat makan.
"Ihsaaan, makanannya sudah siap," panggil Shafa dari rumah Ihsan.
"Iyaaa, aku ke sana," sahut Ihsan.
...
Sementara itu di ruang tamu rumah Ihsan,
"Muantaaab, enaknyaaaa makanan di sini, tambah buu!" teriak Bagas dari tempat makan.
Saat itu juga Ihsan dan Rio masuk dan mengambil makanan.
"Oi Bagas, jangan bicara kalau sambil makan," tegur Alim.
"Maaf mamen, enak kali masakan orang-orang di sini, aku gak bisa diam doang," ucap Bagas.
"Ya baguslah kalau kau suka nak Bagas, makan yang banyak ya," ucap bu Nita saat keluar dari dapur untuk ikut makan.
"Tapi tolong jangan bicara kalau makan, kalau tersedak kupukul kau," ucap bu Tin yang mengikuti dari belakang.
Lalu Ihsan dan Rio mengambil makanan mereka.
"Hmmm enak banget, pantas aja kalian berdua pintar memasak, Ihsan, Alim, ternyata orang-orang di sini pintar masak semua, pantas aja Bagas sampai berteriak," ucap Rio.
"Ihsan dan Alim pintar memasak? Ngarang darimana kau nak, anak-anak itu mana ada pintar memasak, palingan mereka cuma bikin mie, telur, goreng daging, itu-itu aja dan kau bilang mereka pintar memasak, aneh," ucap bu Tin.
"Eh gak gitu mbak, udah bagus itu bisa masak sendiri, apalagi sudah dijual kemana-mana," ucap bu Nita.
"Ehhh mencatat apa kamu Shafa?" tanya Shifa.
"Resep di sini, kayaknya Ihsan bakal suka," bisik Shafa.
"Oooh iya sih, aku boleh menyalin catatanmu tidak?" bisik Shifa.
"Ohh okok," bisik Shafa.
"Kalau mau belajar bilang aja nak," ucap bu Nita yang sudah berada di samping mereka.
"Eh Ibu, ayah mana?" tanya Shafa.
"Ayah?" tanya bu Nita.
"Keceplosan aja terus Shafa," bisik Shifa.
"Bapakmu gak di sini nak, kenapa tiba-tiba ngelantur ayah ini," ucap bu Nita.
"Palingan gadis itu suka sama Ihsan, hhhh ibu sama anak sama aja susah peka," ucap bu Tin.
"Leee, Ihsan, Alim, aku mau mancing, ikut ndak?" ajak tetangga Ihsan.
"Waduh bentar mbah Rik, lagi makan," ucap Ihsan.
"Ikutan makan dulu kah pak dhe?" ucap Alim.
"Walah le, aku dah makan, tak tunggu di luar kalau mau ikutan," ucap pak Rik.
"Bentar mbah, aku ke sana," ucap Ihsan.
"Kalian mau ikutan, Bagas, Rio?" tanya Alim.
Pada saat itu Rio dan Bagas mengangguk pelan tanda setuju. Lalu mereka menghabiskan makanan dan ikut memancing.
"Iya bu, aku suka Ihsan," ucap Shafa.